Mohon tunggu...
Umi Kulsum
Umi Kulsum Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Mahasiswa UIN Maliki Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tidak Semua Hadis Sahih Bisa Diamalkan

13 Juni 2022   21:05 Diperbarui: 13 Juni 2022   21:50 1953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hadis  merupakan gambaran kehidupan Nabi Muhammad SAW yang telah dikisahkan oleh para sahabat, tabi'in dan orang-orang setelahnya. Sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an ini mengandung unsur budaya, agama, politik dan lain-lain. Sehingga tak hanya diperlukan pemahaman 

secara tekstual tetapi juga kontekstual. Karena pemahaman hadis yang hanya secara tekstual seringkali dibelokkan bahkan dipolitisasi oleh beberapa golongan guna mempromosikan gerakan dan ideologi mereka. Hal tersebut menyebabkan pembid'ahan tradisi lokal dalam masyarakat.

Realita yang terjadi saat ini adalah viralnya kutipan hadis yang dipahami secara tekstual mulai menyebar di kalangan generasi muda melalui media sosial. Kutipan hadis dengan penjelasan yang singkat cenderung diterima oleh masyarakat awam. Mengapa demikian? 

Karena pemahaman hadis semacam ini dinilai singkat, padat, jelas. Tidak bertele-tele. Asalkan hadis yang dikutip adalah hadis sahih, maka akan langsung digunakan sebagai dalih untuk memutuskan sebuah perkara yang terkadang sampai memicu berbagai kontradiksi.

Padahal tidak semua hadis sahih bisa serta-merta diamalkan. Dalam memahami sebuah hadis diperlukan berbagai ilmu.

Ada istilah naqdul hadis, yaitu ilmu kritik hadis, dimana para ulama hadis mengoreksi dan menguji kebenaran informasi (matan hadis) yang disampaikan oleh informan (perawi hadis). Perawi tersebut harus berpredikat tsiqah, yaitu mempunyai sifat adil (‘adalah) dan kuat hafalannya (dlabth). 

Hadis yang diuji akan dipilih mana yang asli dan yang palsu, silsilah periwayatan juga dikaji satu per satu dan substansi khabar yang disampaikan harus mengandung kebenaran serta tidak bertentangan dengan akal sehat.

Selain itu, ada istilah thuruq fahm al-hadis, yaitu bagaimana cara memahami hadis. Ranah pemahaman hadis ini termasuk dalam wilayah para ahli fikih (fuqaha). Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i menukil perkataan Ibnu Uyainah yang artinya, “Hadis itu bisa jadi menyesatkan kecuali bagi ahli fikih (fuqaha).” Sehingga andil mereka sangat besar dalam kajian pemahaman hadis.

Oleh karena itu, terdapat beberapa aspek yang menjadi penyebab hadis berstatus sahih tidak bisa langsung diamalkan.

Pertama, tidak termasuk Sunnah Tasyri’iyah (Sunah yang harus diikuti). Maksudnya, ketika membaca hadis harus memilah antara hadis dalam konteks agama dan hadis dalam konteks budaya. Karena bagaimanapun hadis tidak lepas dari budaya dan struktur masyarakat Arab pada saat itu. 

Sebagai contoh, hadis terkait pakaian yang dikenakan Nabi. Tak sedikit riwayat mengatakan bahwa sosok Nabi selalu memakai jubah. Namun, sebenarnya jubah temasuk bagian dari budaya Arab. Jubah dipakai oleh orang muslim maupun non-muslim, sehingga hadis tentang pakaian Nabi ini tidak wajib untuk diamalkan.

Kedua, hadis yang di-mansukh. Hadis seperti ini tidak boleh diikuti. Seperti hadis tentang membunuh peminum khamar yang mengatakan bahwa, “Orang yang minum khamar maka cambuklah, jika masih minum untuk yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Hadis tersebut telah dihapus 

sehingga tidak berlaku hukumnya dikarenakan terdapat hadis setelahnya, “Kemudian didatangkan kepada Nabi SAW orang yang minum khamar untuk yang keempat kalinya, maka beliau mencambuknya dan tidak membunuhnya.”

Ketiga, perbedaan konteks. Dalam pengaplikasian hadis juga harus diperhatikan kondisi masyarakatnya. Misalnya ketika Rasulullah SAW memerintahkan untuk menghadap ke timur atau ke barat saat buang hajat. “Apabila kalian mendatangi tempat buang hajat, janganlah 

menghadap ke arah kiblat dan jangan membelakanginya. Tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat.” [HR. Bukhari dan Muslim]. Hadis tersebut sesuai jika diterapkan di Madinah, karena arah kiblat kota Madinah memang di selatan. Namun, hadis ini tidak relevan jika diterapkan di Indonesia, karena jika mengikuti hadis ini justru arah kiblat menghadap ke barat secara umum.

Penyebab hadis sahih tidak bisa langsung diamalkan yang terakhir adalah adanya hadis sahih lain yang lebih kuat (rajih) atau lebih jelas sisi kemaslahatannya, sehingga hadis tersebut dikalahkan (dimarjuhkan) dalam penerapannya.

Jadi, ada beberapa tahapan yang harus diperhatikan untuk menyebut suatu hadis itu layak diamalkan. Tidak cukup berbekal satu hadis yang disebut sahih dan kesimpulan singkat lantas bisa langsung menerapkannya tanpa pemahaman lebih lanjut. Karena kutipan hadis tanpa 

menyertakan komentar ataupun syarah dari para ulama bisa berbahaya, apalagi sampai dijadikan alat untuk menyalahkan orang lain yang berbeda pemahamannya. Pada intinya, tidak semua hadis bisa serta-merta diamalkan sekalipun berderajat sahih maupun berstatus mutawattir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun