Kedua, hadis yang di-mansukh. Hadis seperti ini tidak boleh diikuti. Seperti hadis tentang membunuh peminum khamar yang mengatakan bahwa, “Orang yang minum khamar maka cambuklah, jika masih minum untuk yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Hadis tersebut telah dihapus
sehingga tidak berlaku hukumnya dikarenakan terdapat hadis setelahnya, “Kemudian didatangkan kepada Nabi SAW orang yang minum khamar untuk yang keempat kalinya, maka beliau mencambuknya dan tidak membunuhnya.”
Ketiga, perbedaan konteks. Dalam pengaplikasian hadis juga harus diperhatikan kondisi masyarakatnya. Misalnya ketika Rasulullah SAW memerintahkan untuk menghadap ke timur atau ke barat saat buang hajat. “Apabila kalian mendatangi tempat buang hajat, janganlah
menghadap ke arah kiblat dan jangan membelakanginya. Tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat.” [HR. Bukhari dan Muslim]. Hadis tersebut sesuai jika diterapkan di Madinah, karena arah kiblat kota Madinah memang di selatan. Namun, hadis ini tidak relevan jika diterapkan di Indonesia, karena jika mengikuti hadis ini justru arah kiblat menghadap ke barat secara umum.
Penyebab hadis sahih tidak bisa langsung diamalkan yang terakhir adalah adanya hadis sahih lain yang lebih kuat (rajih) atau lebih jelas sisi kemaslahatannya, sehingga hadis tersebut dikalahkan (dimarjuhkan) dalam penerapannya.
Jadi, ada beberapa tahapan yang harus diperhatikan untuk menyebut suatu hadis itu layak diamalkan. Tidak cukup berbekal satu hadis yang disebut sahih dan kesimpulan singkat lantas bisa langsung menerapkannya tanpa pemahaman lebih lanjut. Karena kutipan hadis tanpa
menyertakan komentar ataupun syarah dari para ulama bisa berbahaya, apalagi sampai dijadikan alat untuk menyalahkan orang lain yang berbeda pemahamannya. Pada intinya, tidak semua hadis bisa serta-merta diamalkan sekalipun berderajat sahih maupun berstatus mutawattir.