Mohon tunggu...
Umi Kudori
Umi Kudori Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga -

Ibu rumah tangga sederhana yang ingin bersahabat dan saling berbagi dengan masyarakat luas. www.umikudori.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Pasar Rakyat, Riwayatmu Kini

27 Januari 2017   22:36 Diperbarui: 27 Januari 2017   22:54 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dalam penelitian itu juga terkuak, 98 persen dari 1.000 orang responden (penduduk yang berpendapatan di bawah Rp 1 juta per bulan) – seperti penarik becak, pengojek sepeda ontel, pemulung, penjual jamu gendong, penjaja kue rumahan, dan sebagainya – membeli kebutuhan sehari-hari mereka di pasar rakyat. Hanya lebih dari satu persen di antara mereka yang kerap berkunjung ke pasar-pasar swalayan, itu pun hanya untuk berjalan-jalan ketimbang berbelanja.

Masih tentang riset tersebut, BRS juga menemukan adanya faktor-faktor kondusif di pasar-pasar rakyat yang berpengaruh signifikan terhadap ketahanan budaya masyarakat lokal yang menjadi pelanggannya dibanding para anggota masyarakat lainnya yang lebih banyak berkunjung ke pasar-pasar swalayan.

Salah satunya adalah budaya saling menyapa dan mengobrol akrab – utamanya antara pedagang dengan pembeli – yang amat banyak dijumpai di pasar-pasar rakyat namun amat langka di pasar-pasar swalayan.

Terkait hal tersebut, peneliti BRS mengamati 100 pengunjung dalam sebuah pasar swalayan di Pulau Jawa. Saat masing-masing dari 100 orang ini turun dari mobil, masuk ke dalam pasar swalayan, berkunjung ke stan-stan, hingga kembali ke mobil dan pulang, yang seluruhnya berlangsung antara satu jam hingga tiga jam, hanya tiga orang yang berbicara, yang 97 orang lainnya tak bersuara sama sekali. Ketiga pengunjung yang berbicara itu ialah: orang pertama mengucapkan “Terima kasih” kepada satpam yang membukakan pintu untuknya, orang kedua bertanya “Mana labelnya?” saat ia menemukan salah satu item barang yang tak dilengkapi label harga, dan orang ketiga menjawab “ATM” saat kasir bertanya apakah ia akan membayar dengan uang tunai ataukah ATM.

Di sini nampak jelas, komunikasi antara pedagang dengan pengunjung di pasar-pasar swalayan merupakan sesuatu yang amat langka. Ribuan pengunjung pasar-pasar swalayan itu hanya berjalan masuk, terkadang mengambil troli, memeriksa barang-barang dan label harganya masing-masing, meletakkan barang-barang yang ingin dibelinya ke atas troli, lalu, jika selesai, ia mendorongnya ke kasir, membayar dengan uang tunai, kartu kredit, ATM, atau kartu-kartu pintar lainnya, dan akhirnya memuat barang-barang belanjaannya itu ke dalam mobil. Semua ini biasanya berlangsung tanpa bicara atau komunikasi verbal antara pengunjung dengan pihak pedagang.

Lain halnya di sebuah pasar rakyat, di kota yang sama, di mana peneliti BRS membuntuti 100 orang pengunjung secara diam-diam, satu per satu. Masing-masing pembeli ini selalu mengajak mengobrol tiap pedagang yang dikunjunginya untuk menanyakan harga dan melakukan tawar-menawar. Sebanyak 58 orang dari pembeli itu bahkan terlibat dalam proses tawar-menawar yang sangat sengit dan emosional dengan para pedagang di pasar itu.

Ini menjadi bukti konkret, komunikasi antara pengunjung dengan pedagang di pasar rakyat sangat intens, bahkan emosional, namun semuanya selalu berada dalam konteks antusiasme yang positif, baik di sisi pengunjung maupun pedagang.

Komunikasi antar-manusia di pasar-pasar rakyat itu, meskipun di atas permukaan terkadang nampak vulgar dan sinis, namun tak pernah membuat siapa pun tersinggung, bahkan itu selalu berakhir dengan derai tawa ria yang membuktikan bahwa semua pelaku komunikasi itu – baik pembeli maupun penjual – sangat menikmatinya. Dan, yang tak kalah pentingnya, semua komunikasi itu dilakukan sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal yang diterima dengan baik oleh semua pihak.

Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian itu, BRS menyimpulkan, pasar rakyat di Indonesia bukan hanya berfungsi sebagai fasilitas vital di mana rakyat setempat dapat melakukan interaksi ekonomi melalui proses jual beli berbagai barang dan jasa secara tradisional, namun juga berperan strategis selaku sarana komunikasi di mana rakyat setempat dapat mengekspresikan nilai, sikap, perilaku, serta produk-produk budayanya melalui proses jual beli tersebut.

URGENSI “HARI PASAR RAKYAT NASIONAL”

Dengan demikian, gangguan terhadap eksistensi pasar tradisional di Indonesia bukan hanya menjadi ancaman serius bagi ekonomi 26 juta pedagang kecil serta puluhan juta anggota keluarganya, namun juga bisa membahayakan berbagai nilai budaya rakyat setempat yang integral dengan aktivitas pasar itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun