Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia kini kian marak dan mencemaskan. Padahal seluruh komponen pemerintah dan masyarakat sipil telah berjuang keras mengatasinya. Mengapa perjuangan itu sejauh ini terkesan kurang efektif? Inikah saat yang tepat untuk “meningkatkan status” masalah ini menjadi sejajar dengan terorisme dan narkoba?
“Kekerasan terhadap perempuan” dalam Undang-undang Nomor UU No 23 Tahun 2004 didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Mirip dengan itu, pengertian “kekerasan terhadap anak” dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Meski konsekuensi hukumannya cukup berat, dan kalangan pemerintah maupun masyarakat sipil pun telah bekerja keras mengatasinya dengan menghabiskan dana serta sumber daya lainnya yang kian tahun semakin meningkat, namun kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di negeri ini justru bertambah gawat dan mengkhawatirkan. Sepertinya para pelaku kekerasan itu tidak keder sedikit pun.
Dalam tahun 2015 saja, menurut Komisi Nasional Perempuan, terjadi sedikitnya 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan, atau rata-rata 881 kasus setiap hari. Dibanding tahun sebelumnya, angka ini meningkat 9%.
Sedangkan dalam catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, pada tahun yang sama, terdapat 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak, 53% di antaranya ialah kasus kekerasan seksual. Sisanya, yakni sebanyak 40,7% adalah penelantaran, penganiayaan, eksploitasi seksual, dan berbagai bentuk kekerasan lainnya.
MEMICU KEKERASAN LAINNYA YANG SEJENIS
Lebih parahnya lagi, seperti yang dibuktikan melalui serangkaian penelitian serta pengalaman lapangan dari para pegiat anti kekerasan terhadap anak dan perempuan selama ini, ternyata hampir semua kasus kekerasan tersebut bukan hanya merupakan insiden-insiden yang hanya berhenti di situ, melainkan juga menjadi faktor-faktor yang memicu terjadinya berbagai jenis kekerasan lainnya terhadap perempuan, terutama perdagangan manusia (human trafficking) dan pemiskinan kaum perempuan atau feminisasi kemiskinan.
Sebuah riset di Jawa Timur dan DKI Jakarta tahun 2013 menunjukkan, sebagian besar perempuan maupun anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam kurun waktu 2005 hingga 2010 pada akhirnya terperangkap dalam berbagai bentuk perdagangan manusia seperti dipaksa menjadi pelacur, babu, buruh kasar, dan sebagainya.
Penelitian lainnya di pelosok Jawa Barat dan Sulawesi tahun 2011 hingga 2014 mengungkapkan, hampir 80 persen perempuan yang menjadi korban KDRT dan terjerumus dalam kemiskinan akibat kekerasan ekonomi yang dilakukan oleh mantan suami mereka, belakangan menjadi semakin miskin gara-gara dijegal oleh berbagai diskriminasi dan stigma gender yang mereka hadapi di lingkungan sosial dan kulturalnya terutama berupa penomorduaan (subordinasi), marginalisasi, stereotip, beban kerja, dan kekerasan yang semuanya bermuara pada feminisasi kemiskinan atau “kemiskinan berkelamin betina”.