Mohon tunggu...
Umi FarzahNadliroh
Umi FarzahNadliroh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Teknik Informatika UIN Malang

Senang berbagi pandangan tentang isu-isu terkini melalui tulisan. Di sini saya menuangkan gagasan dan pengalaman dengan harapan dapat menginspirasi dan membuka wawasan baru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pandemi Covid-19: Bagaimana QRIS Menawarkan Solusi Transaksi Aman bagi Masyarakat

5 September 2024   14:05 Diperbarui: 24 September 2024   11:21 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi COVID-19: Bagaimana QRIS Menawarkan Solusi Transaksi Aman bagi Masyarakat?


Pandemi COVID-19 telah mengubah banyak aspek kehidupan, termasuk cara kita bertransaksi. Pemerintah Indonesia, melalui Bank Indonesia (BI), mengeluarkan inisiatif penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebagai metode pembayaran nontunai yang diharapkan dapat mengurangi risiko penyebaran virus. Menurut data Bank Indonesia, QRIS diresmikan pada 1 Januari 2020, sebagai respons terhadap meningkatnya tren transaksi digital di Indonesia yang terus berkembang selama pandemi. Namun, seberapa besar masyarakat Jabodetabek---yang menjadi episentrum penyebaran COVID-19 di Indonesia---menerima dan mengadopsi teknologi ini? Inilah yang coba dijawab oleh Denny Prasetya, Alexandra Rianti Grandi Rahardjo, Eva Reh Ulina Aritonang, Jody Manggalaningwang, Nadya Ayu Maharani, Yohanes Ivander, dan Abdinabi Mukhamadiyev dalam penelitian mereka yang dipublikasikan pada INTENSIF: Jurnal Ilmiah Penelitian dan Penerapan Teknologi Sistem Informasi (Prasetya et al., 2024).

Penelitian ini menggunakan model UTAUT (Unified Theory of Acceptance and Use of Technology), sebuah teori yang menilai faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi, seperti ekspektasi kinerja, ekspektasi usaha, pengaruh sosial, dan kondisi pendukung. Namun, yang membedakan penelitian ini dengan studi sebelumnya adalah penambahan variabel risiko yang dirasakan (perceived risk). Sebuah langkah penting mengingat bahwa ketakutan masyarakat terhadap penularan virus menjadi faktor utama yang mendorong adopsi teknologi nontunai selama pandemi.

Dari survei yang dilakukan terhadap 384 responden di wilayah Jabodetabek, penelitian ini menemukan bahwa risiko yang dirasakan menjadi prediktor paling signifikan dalam penerimaan QRIS di masa pandemi, berbeda dengan ekspektasi kinerja yang biasanya mendominasi dalam kondisi normal. Menariknya, 81% responden menyatakan mereka menggunakan QRIS secara sukarela, sementara 70% mengaku jarang menggunakan QRIS, menunjukkan adanya perbedaan persepsi yang signifikan terhadap teknologi ini (Prasetya et al., 2024). Hasil ini menyoroti pentingnya pemahaman terhadap psikologi masyarakat dalam mengadopsi teknologi, terutama di masa krisis.

***

Penelitian yang dilakukan oleh Prasetya et al. (2024) menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 telah menggeser pola pikir masyarakat terhadap teknologi pembayaran digital. Selama masa normal, ekspektasi kinerja (performance expectancy) biasanya menjadi faktor utama yang mempengaruhi adopsi teknologi. Namun, penelitian ini menemukan bahwa dalam konteks pandemi, variabel risiko yang dirasakan (perceived risk) menjadi faktor dominan. Hal ini sangat masuk akal mengingat ketakutan masyarakat terhadap penyebaran virus membuat mereka lebih memilih metode pembayaran yang minim kontak fisik. Dari 384 responden yang disurvei, variabel risiko yang dirasakan memiliki kontribusi sebesar 30,3% dalam mempengaruhi niat masyarakat untuk menggunakan QRIS, lebih tinggi dibandingkan ekspektasi kinerja yang hanya berkontribusi sebesar 29,9% (Prasetya et al., 2024).

Hasil ini menantang asumsi umum bahwa teknologi hanya diadopsi berdasarkan manfaat fungsionalnya. Dalam situasi darurat kesehatan seperti pandemi, faktor emosional seperti rasa takut memainkan peran penting dalam mendorong adopsi teknologi. Ini berarti bahwa pemerintah dan penyedia layanan perlu mempertimbangkan elemen psikologis dalam strategi pemasaran mereka, terutama dalam situasi krisis. QRIS, sebagai alat pembayaran nontunai, memenuhi kebutuhan masyarakat untuk transaksi yang cepat dan aman. Namun, penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada kesenjangan antara pemahaman masyarakat dan penggunaan nyata. Meskipun 78,4% responden menyadari adanya rekomendasi dari pemerintah untuk menggunakan QRIS, hanya 7,8% yang selalu menggunakan teknologi ini dalam kehidupan sehari-hari (Prasetya et al., 2024). Ini menunjukkan bahwa meskipun kesadaran tinggi, adopsi masih tergolong rendah.

Selain itu, penelitian ini juga mencatat bahwa kelompok usia muda, khususnya mereka yang berusia antara 17 hingga 35 tahun, cenderung lebih terbuka terhadap teknologi ini dibandingkan kelompok usia yang lebih tua. Secara spesifik, kelompok usia muda ini lebih dipengaruhi oleh pengaruh sosial dari keluarga dan teman (SI1), yang berkontribusi sebesar 47,7% terhadap adopsi QRIS (Prasetya et al., 2024). Ini menunjukkan bahwa bagi generasi muda, faktor sosial sangat berpengaruh, sementara bagi kelompok yang lebih tua, pengalaman dan akses terhadap teknologi lebih menjadi kendala.

Secara keseluruhan, hasil penelitian ini memberikan wawasan yang penting bagi pemerintah dan pihak terkait dalam mempromosikan adopsi teknologi nontunai di masa depan. Melibatkan influencer atau tokoh masyarakat untuk menyebarkan kesadaran akan pentingnya QRIS, serta mengurangi ketakutan masyarakat terhadap risiko kesehatan, dapat menjadi strategi yang efektif. Penggunaan QRIS tidak hanya soal memudahkan transaksi, tetapi juga tentang memberikan rasa aman kepada masyarakat di tengah ancaman kesehatan global.

***

Penelitian yang dilakukan oleh Prasetya et al. (2024) mengungkapkan bahwa penerimaan teknologi tidak hanya dipengaruhi oleh aspek fungsional, tetapi juga oleh faktor emosional, terutama dalam situasi krisis. Pandemi COVID-19 membuktikan bahwa risiko yang dirasakan oleh masyarakat, khususnya terkait kesehatan, menjadi faktor dominan dalam adopsi QRIS. Meskipun ekspektasi kinerja tetap penting, persepsi risiko memberikan dorongan yang lebih kuat bagi masyarakat untuk memilih metode pembayaran nontunai.

Dengan data yang menunjukkan bahwa hanya 7,8% dari responden selalu menggunakan QRIS, sementara 81% menggunakannya secara sukarela, ada peluang besar bagi pemerintah dan pelaku industri untuk meningkatkan adopsi teknologi ini di masa mendatang. Meningkatkan edukasi, memperluas akses, serta mengurangi kekhawatiran terkait keamanan dan risiko kesehatan dapat mendorong masyarakat untuk lebih aktif menggunakan QRIS.

Secara keseluruhan, penelitian ini menawarkan pandangan penting tentang bagaimana teknologi dapat diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam situasi darurat kesehatan. Dengan terus memantau perkembangan persepsi publik terhadap teknologi pembayaran digital, pemerintah dan sektor swasta dapat bekerja sama untuk menciptakan ekosistem transaksi yang aman dan efisien, tidak hanya di masa pandemi, tetapi juga di masa depan.

Referensi

 Prasetya, D., Rahardjo, A. R. G., Aritonang, E. R. U., Manggalaningwang, J., Maharani, N. A., Ivander, Y., & Mukhamadiyev, A. (2024). Technology acceptance analysis using UTAUT: A study of QRIS acceptance during the pandemic. INTENSIF: Jurnal Ilmiah Penelitian dan Penerapan Teknologi Sistem Informasi, 8(2), 181-199. https://doi.org/10.29407/intensif.v8i2.21982 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun