"Cinta dalam Doa, Takdir dalam Sujud"
Afi menyandarkan tubuhnya pada dinding mushola kampus yang sepi. Hanya ada ia dan keheningan malam, ditemani lampu redup yang memberikan cahaya temaram. Di pangkuannya terbuka Al-Qur'an kecil yang menjadi penenang hatinya selama ini. Namun, kali ini pikirannya melayang, meninggalkan huruf-huruf suci yang ia tatap.
Ia teringat Zuh, seorang kakak tingkatnya di kampus. Lelaki itu selalu menjadi pusat perhatian ketika memberikan tausiyah di berbagai acara. Dengan tutur kata lembut, ilmu agama yang luas, dan ketenangan yang memancar dari wajahnya, Zuh adalah sosok yang disegani dan dihormati.
Namun, bagi Afi, Zuh bukan sekadar panutan dalam agama. Diam-diam, ia menyimpan perasaan khusus. Perasaan yang ia tahu harus ia jaga baik-baik. Cinta kepada Zuh adalah ujian keimanannya. Ia tahu betul, perasaan itu tidak boleh menguasai dirinya dan harus ia sampaikan hanya kepada Allah.
"Ya Allah, jika perasaan ini tidak baik untukku, hilangkanlah. Namun, jika ia adalah takdirku, maka aku serahkan semuanya kepada-Mu," doa Afi dalam hati, sambil memejamkan matanya.
Hari-hari berlalu, dan perasaan Afi kepada Zuh semakin mendalam. Ia mengagumi cara Zuh menyikapi segala sesuatu dengan bijak, bagaimana ia menjadi imam yang baik dalam shalat berjamaah, dan keteguhan iman yang terlihat dari setiap tindakannya.
Namun, Afi memilih untuk tetap menjaga jarak. Ia tidak pernah berusaha mendekati Zuh atau mencari perhatian darinya. Setiap kali bertemu di kampus, ia hanya tersenyum sopan dan segera berlalu.
Zuh, di sisi lain, sering melihat Afi di berbagai kegiatan dakwah kampus. Ia tahu Afi adalah salah satu mahasiswi yang rajin mengikuti kajian, aktif di organisasi, dan selalu menjaga sikap. Namun, ia tak pernah berpikir lebih jauh tentang Afi. Baginya, tugas utamanya saat ini adalah belajar dan mengamalkan ilmu agama.
Suatu hari, Afi mendengar kabar bahwa Zuh sedang dalam proses taaruf dengan seorang perempuan dari fakultas lain. Kabar itu menyebar cepat di kalangan teman-temannya, dan Afi hanya bisa tersenyum kecil ketika ditanya pendapatnya.
"Bagus, ya. Mas Zuh memang pantas dengan siapa pun yang baik," jawabnya singkat, meski hatinya terasa hampa.
Malam itu, Afi sujud lebih lama dari biasanya. Dalam doanya, ia berusaha menguatkan hatinya.