"Ambisi di Balik Lembar Esai"
Langit malam memeluk kota kecil tempat kampus Dina berada. Di dalam kamar kosnya yang sempit, ia duduk dengan laptop di depannya, dikelilingi buku-buku dan kertas penuh coretan. Wajahnya serius, matanya terpaku pada layar. Pengumuman lomba esai nasional dari kementerian dengan tema "Inovasi untuk Masa Depan Berkelanjutan" terus terngiang di pikirannya. Dina tahu, ini bukan sekadar lomba biasa. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan dirinya.
Sebagai mahasiswa semester akhir jurusan Ilmu Lingkungan, Dina selalu berambisi. Ia bercita-cita menjadi seorang inovator di bidang ekologi, dan memenangkan lomba ini bisa menjadi langkah besar menuju impian itu. Hadiah utama berupa uang tunai, sertifikat bergengsi, dan peluang mengikuti konferensi internasional adalah hal yang ia dambakan. Namun, bagi Dina, ada alasan yang lebih dalam.
"Aku ingin orang tua bangga," gumamnya, menatap foto ayah dan ibunya yang terpajang di meja kecil di sebelahnya.
Dina lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang petani kecil, dan ibunya membuka warung di desa. Mereka bekerja keras agar Dina bisa kuliah. Ia tahu perjuangan mereka, dan ia ingin memberikan sesuatu sebagai balasan sesuatu yang membuat mereka percaya bahwa semua pengorbanan itu tidak sia-sia.
Dina memulai dengan membaca tema lomba berulang kali. "Inovasi untuk Masa Depan Berkelanjutan," katanya dalam hati. Tema ini sangat relevan dengan minatnya. Ia memutuskan untuk menulis tentang pengelolaan limbah organik berbasis teknologi lokal, sebuah ide yang terinspirasi dari kehidupan di desanya.
Hari-hari berikutnya dihabiskan di perpustakaan. Dina membaca puluhan jurnal, buku, dan artikel ilmiah untuk memperdalam argumennya. Ia mencatat poin-poin penting, membuat sketsa diagram, dan menyusun kerangka esai. Namun, di balik semangatnya, muncul rasa cemas.
"Bagaimana kalau aku gagal?" pikirnya. Tapi segera ia tepis. "Tidak. Aku bisa melakukannya."
Semakin dekat tenggat waktu pengumpulan, semakin sibuk Dina. Ia menghabiskan malam-malam panjang di depan laptop. Lampu kamar kosnya sering masih menyala hingga dini hari. Farah, sahabat sekaligus teman sekamarnya, sering mengingatkan Dina untuk istirahat.
"Din, kamu nggak takut sakit? Kamu kerja terus," kata Farah suatu malam.
 "Aku nggak punya waktu untuk sakit. Ini penting," jawab Dina sambil tersenyum lelah.
Meski begitu, tubuh Dina mulai merasakan dampaknya. Ia sering sakit kepala karena kurang tidur, dan makan hanya sesekali. Tetapi, semangatnya tak pernah padam.