Suatu hari ibuku mendadak datang menjengukku. Kejutan yang membuatku benar-benar terkejut. Bagaimana tidak. Aku masih di Kampus dan ibu sukses menggeledah kamarku. Membaca buku harianku, membaca surat-surat Mas Sandhi yang kuterima setiap minggu. Bukan salah ibu kos kalau memberikan kunci duplikat kamarku.Â
Bencana kedua ini lebih dahsyat. Ibuku langsung berkirim surat kepada Mas Sandhi. Singkat saja, "Tidak kuinginkan anakku pacaran denganmu atau dengan siapapun sebelum dia sarjana dan bekerja! "
Benar-benar mala petaka bagi kami. Setelahnya aku seperti orang linglung. Kalau bukan karena akan menyusun skripsi, rasanya aku pinggin bunuh diri.Â
Untungnya pikiranku masih waras. Aku malu kalau sampai di DO. Justru timbulnya aku harus berniat menyesuaikan kuliah secepat-cepatnya, agar aku bebas menentukan hidupku selanjutnya. Itu janji ibuku. Kalau aku sudah lulus dan beketja, ibu memberiku kebebasan menentukan pilihanku. Tidak akan ikut campur. Nah, sepadan bukan? Â Dan wajib kuperjuangkan.Â
Â
Â
Â
Masa lalu kujadikan hanya sebagai jalan yang pernah kulewati. Ingatan tentangnya cumalah serupa kenangan yang sesekali timbul tenggelam.Â
Dan aku tak mau ada masalah yang masih mengganjal menjelang keputusanku melanjutkan hubungan lebih terarah dengan Hanny. Harus kutuntaskan terlebih dahulu.Â
" Kau tak perlu minta ijinku, Hubungan kita susah berakhir sejak kepergianku dulu. Lebih tepatnya, aku sudah selesai denganmu. "
Kusadari kemudian, bahwa cinta harus menerima, dengan penerimaan yang tulus.Â