Surabaya yang dijuluki sebagai Kota Pahlawan, kota Buaya dan entah  julukan apalagi yang layak disematkan.Bagiku saat itu, surabaya adalah kota yang sibuk. Urat nadi kehidupan berdenyut 24 jam non stop. Dan aku terlibat di dalamnya, hampir selama dua pertiganya.Â
Bagaimana tidak, terhitung sejak jam 05.00 pagi bangun tidur, siap -siap berangkat mengajar, memberi les privat, berangkat kuliah jam lima sore, pulang kembali, tiba di rumah jam sepuluh malam, kalau tak ada masalah hujan dan banjir. Kalau hujan deras dan banjir, hampir tengah malam baru sampai di rumah. Begitu setiap hari kujalani tanpa keluh kesah.Â
Riak kehidupan berjalan mengalir begitu saja.Hingga aku menyelesaikan Ujian Negara. Dan berhak menyandang gelar Sarjana Muda Hukum.Kalau boleh sedikit merasa bangga, aku bisa menulis namaku menjadi Yowa Novianti Bc.HK. Mungkin diperlukan nanti ketika aku  melamar pekerjaan
Seharusnya, setelah itu aku meneruskan ke Tingkat Doktoral  untuk meraih gelar sarjana penuh, untuk kemudian tertulis namaku, Yowa Novianti SH. yang menjadi angan dan inginku sejak dulu. Â
Tak sedikit hambatan yang menghadangku sebelumya. Minimnya diktat yang kupunya, membuatku harus rajin ke perpus, dan pinjam catatan ke sana kemari untuk difoto copy.Ditambah dengan waktu belajarku yang tak teratur, sehingga aku menerapkan belajar sks alias sistim kebut semalam. Lulus sekedar lulus, dengan minim prestasi, yang penting selesai. Aku sudah merasa sangat bersyukur.Â
Sampai di tahap ini, untuk mekanjutkan ke tingkat doktoral, soal biaya menjadi pertimbanganku.. Sebagai anak tertua, mau tak mau, aku harus jugs memikirkan kelangsungan sekolah ketiga adikku.
Tahun itu, bersamaan dengan adikku Ariel diterima di di ITS, Adin masuk SMA, Afit si bungsu, naik klas 2 SMP dan Adit adik tiriku baru naik ke Tingkat II di Untag, fakultas ekonomi.Â
Bapak sudah kerja keras untuk biaya menyekolahkan kami. Kalau pagi beliau sebagai Kasek SDN, siangnya mengajar di SMA Muhamadiyah, malamnya jadi Dosen di IKIP PGRI. .Â
Melihat kenyataan itu, aku bisa ikut merasakan, sungguh berat beban yang bapak pikul.Sehingga aku tak sampai hati menambahi bebannya.Toh tak ada larangan untuk meneruskan tahun depan. Sambil menabung, seandainya nanti ada kurangnya, tak akan terlalu banyak minta tambahan bapak.Â
Sementara ibuku di Banyuwangi, masih membiayai sekolah dua adiknya, yang satu di SMA, satunya lagi di PGA, pun dua adikku, Arier dan Arly sudah di SMP. Lebih tak tega lagi kalau aku minta tambahan uang beliau.Akhirnya kuputuskan untuk terminal dulu satu tahun.Berharap keadaan tahun depan akan lebih baik. Do'aku selalu kupanjatkan. Tuhan membuka jalan kemudahan.Â
Karena sudah tak kuliah lagi,.kemudian aku menerima tawaran untuk tinggal di perumahan guru di SD tempatku mengajar. Berdampingan dengan tempat tinggal Pak Bun, penjaga sekolah. Sekolahan itu sendiri satu komplek terdiri dari 3 sekolah. SDN Pacar Kembang I, II dan III. Aku di SDN Pacar Kembang I.Â
Bangunan sekolah itu bentuknya memanjang ke samping. Dilengkapi sederet ruangan berkaca di bagian depan sebagai kantor. Rindang pepohonan berbaris di halaman, meneduhkan.Tanaman dalam pot di depan ruangan kelas tampak sedap di pandang mata. Pagar besi tinggi yang berbatasan dengan jalan raya, mengesankan sebagai gedung sekolahan yang megah.Â
Bersama mbak Kustina aku tinggal di perumahan itu. Dia lulusan SPG, kuliahnya sudah  tingkat akhiri di IKIP PGRI, salah satu mahasiswa bapak, tapi sudah hampir dua tahun diangkat menjadi PNS. Dari gajinya itulah dia membiayai kuliahnya sendiri.Â
Sebenarnya akupun sudah pernah juga ikut tes CPNS dari Depag, tapi gak lulus. Belum nasibku mungkin. Atau mungkin karena niatku yang setengah -setengah, tak sepenuhnya ingin jadi guru. Waktu itu aku mengajar, untuk mencukupi kebutuhanku sendiri, jatah bulanan tetap diberi oleh bapak.Â
Dan lagi, kubayangkan seandainya lulus tes, trus ditugaskan di luar daerah entah di mana, waah. . tambah kacau kelanjutan kuliahku nanti. Begitu yang ada dalam pikiran bodohku saat itu. Gak penting banget jadi PNS. Pentingku harus selesai kuliah.
***
Menjelang Tahun Ajaran Baru, ada beberapa ruang kelas yang direnovasi. Di sinilah awal mula aku mengenal Hans, pengawas para pekerja itu. Kami sering bertemu di kantin saat makan siang. Dia berasal dari Lampung, sudah sepuluh tahun malang melintang di Surabaya katanya. Mengerjakan proyek kecil -kecilan bersama temannya.Â
Tiga bulan hingga proyek renovasi itu selesai, Hans semakin gencar mendekatiku. Padahal aku sering menghindar kalau dia datang malam minggu. Sengaja hari sabtu pulang mengajar,aku pulang ke rumah bu Dhe Tambak Segaran.Â
Jujur saja, aku tidak tertarik dengannya, tak ada getaran di hatiku ketika bersamanya, entah karena apa ya...kalau kuamati, wajahnya gak jelek banget sih. Mukanya tampak bersih rajin bercukur kumisnya, menyisakan jambang yang agak tebal di kanan kiri telinganya. Posturnya tinggi kecil, penampilannya selalu rapi dengan hem lengan pendek yang selalu dimasukkan, khas tampilan eksekutif muda.Â
Lama kelamaan aku merasa risih sekaligus kasihan, sudah sering kuhindari tapi masih datang juga. Di lain waktu, sengaja kutunggu kedatangannya malam minggu itu. Benar saja, dia datang lagi dan lagi. Maka. ..kuberanikan diri untuk bertanya, aku orangnya tak suka basa - basi, apa yang kuucapkan , itulah kata hatiku, to the point aja kulontar tanya, " Hans, sebenarnya kau mau apa denganku?" tatapanku tajam menyelidik. Sesaat Hans gugup, mengalihkan pandangan ke batang rokoknya, yang tampak dihisap dan dihembuskan asapnya begitu saja.Â
" Aku ingin menikah denganmu! " jawabnya to the point juga, Â tapi agak grogi kulihat. Rokoknya masih setengah batang sudah diusek -usek di asbak.Â
Cukup lama aku termangu. Tak.kukira, hanya sependek itu kalimatnya. Saat itu mbak Kus sedang keluar. Kami duduk di ruang tamu sambil nonton tv.Tapi hanya mataku yang melihat layar tv, pikiran dan perasanku melayang -layang, mengembara tanpa arah. Sementara , Hans membuka -buka majalah yang dibawanya untukku. Tahu sekali dia, kalau aku suka membaca. Bisa jadi, itu caranya menyuapku  mengharap balas perhatianku.Â
"Kau belum mengenalku, bagaimana mungkin, kau langsung ingin menikah denganku...".ujarku datar, mencairkan kebisuan sesaat.Â
" Entahlah. . . . fellingku mengatakan begitu .... yang pasti, aku tidak sedang mencari pacar, tapi seorang istri, Â yang mau kuajak hidup bersama dalam susah dan senang !".mantap sekali jawabnya, ada nada kesungguhan yang kutangkap.Tapi aku belum punya jawaban saat itu. Sampai Hans permisi pulang dengan mengatakan, "Aku menunggu jawabanmu, Vi, Â lebih cepat lebih baik, ok. "Â
Kilasan - kilasan peristiwa sebelumnya, tetiba berkelebat begitu saja. Tergambar di alam maya, serupa tayangan ulang sinetron kehidupan.Tentang mas Kin yang sudah almarhum, tentang Helmy yang sesekali menjengukku dan terakhir, tentang Dody.Mahasiswa abadi di IAIN tapi nyabang kuliah di Unsuri.Â
Di malam sepi saat sendiri, seringkali aku masih mengenang mss Kin, sudah kucoba untuk mencintai pria lain. Tapi rasanya, belum kutemukan satu orangpun diantara mereka yang tulus mencintaiku. Mungkin saja hanya kepintaranku yang dimanfaatkan, seperti si Dody itu. Menjelang kami ujian dulu, rajin banget dia antar jemput kuliah. Karena mau nyontek jawaban.Dan setelah ujian selesai, tak tampak lagi ujung hidungnya. Jejaknya seakan lenyap dan menguap seperti asap rokok dihembusnya.Â
***
BersambungÂ
Kota Kenangan 26 Mei 2016.Â
#tantangan100harimenulisnovelFC
No.84. Umi SetyowatiÂ
Bab.VIII. 40 /
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H