Mohon tunggu...
Umi Setyowati
Umi Setyowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu rumah tangga

Wiraswasta yang suka membaca dan menulis fiksi sesekali saja.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

"Asa yang Tersisa" (6)

20 Maret 2016   21:06 Diperbarui: 21 Maret 2016   03:35 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

#tantagan100harimenulisnovelFC 

No.84. Umi Setyowati. 

Bab.II

6/

Santai sekali  bapak mengemudikan vespa tuanya, Aku yang duduk manis di boncengan, memeluk pinggangnya sekedar berpegangan saja. Mataku mengamati sepanjang jalan, kadang terkagum - kagum melihat tingginya gedung yang tampak megah nan indah arsitektur bangunannya. Sungguh pintar insinyur yang merancangnya. Pikirku. 

Jalan Raya Darmo, lurus memanjang dua jalur, pagar besi tinggi sebagai pembatas. Tersedia jembatan tinggi juga yang disediakan untuk orang menyeberang. 

Berbelok ke kiri dan belok lagi ke kanan, bapak menghentikan vespanya di Jl.Tunjungan. Aku diam saja mengikuti langkahnya. Setelah vespa dititipkan di parkiran, bapak membimbibgku masuk ke Toko buku "Sari Agung " Waaah. ..asyik, batinku. 

Luar biasa, besar sekali toko buku ini, penuh rak buku, yang memanjang dari depan hingga ke belakang tinggi sekali menurutku. Tapi di tengah -tengahnya ada rak yang lebih pendek. 

"Pilihlah buku yang kamu mau " kata bapak, saat kami sampai di bagian agak ke dalam. Sepertinya buku untuk anak -anak di sini. Terlihat beberapa anak seusiaku sedang membolak -balik buku yang di pegangannya. Aku pun berbuat hal yang sama. 

Satu dua buku kuperlihatkan kepada bapak dan bertanya apakah aku boleh minta di belikan buku tersebut  ? Dilihat dan dibolak-balik dulu sebelum bapak bilang "ya , boleh "

Namun ketika aku menyodorkan sebuah novel, bapak melarangnya.Novel Dedy D Iskandar, aku pernah sekali membaca Novel yang di bawa pak Lekku di Banyuwangi. Aku suka karena novel ceritanya panjang. Kalau buku dongeng bukunya tipis, cepat habis membacanya. 

 Keluar dari toko buku, kami masih berjalan menyusuri trotoar di sepanjang jalan itu. Hingga belok kanan, tampaklah deretan penjual makanan dan minuman di gerobak, ala kaki lima.Aku hanya minta di belikan martabak saja dibawa pulang, dimakan di rumah bersama adik-adik. 

* * * 

Di hari yang lain, bapak membawaku dan memperkenalkan kepada saudara - saudaranya yang terdekat di Tambak Segaran. Rumah Pak Dhe, saudara bapak yang tertua.Istrinya yang kupanggil Bu Dhe, sangat ramah menyambutku. Melihat postur dan busananya, mengingatkan aku kepada penyanyi keroncong Waljinah. Lengkap dengan kondhenya. 

Rumahnya besar dan bertingkat, banyak anak kos di lantai dua, karyawan dan mahasiswa dari luar kota. Pak Lek Maksum ternyata tinggal di sini. Pantesan setelah mengantarku tak kulihat lagi di rumah bapak. Rupanya langsung pulang ke rumah Pak Dhe. 

Yang membuatku sangat senang, ada anak Pak Dhe perempuan yang sebaya denganku, setidaknya aku nanti punya teman sepermainan. Mbak Ipung namanya, walau sebaya aku harus memanggil " Mbak " karena dia anak Pak Dhe, begitu silsilahnya kata Bu Dhe. 

" Kalau kamu dimarahi ibu tirimu, lari saja kesini " Mbak Ipung berbisik. 

" Husst. . " kata Bu Dhe, sambil menengok ke arah bapak yang cuma menanggapi candaan mbak Ipung dengan senyuman tipisnya. 

** * 

Pagi itu ibu Mus mengajakku belanja ke pasar Tambah Rejo. Berjalan dari rumah keluar gang, maka tembus ke jalan raya kapas krampung. Aku berjalan di sampingnya membawa keranjang belanjaan. Kadang juga membuntuti saja di belakangnya bila masuk los sempit yang ramai. Setelah tawar menawar dan barang jadi dibeli ibu, aku memasukkan ke dalam keranjang yang kupegang. Berpindah dari satu los ke los yang lain sesuai dengan kebutuhan yang akan ibu beli. 

Sepertinya ibu Mus ini berasal dari Madura, faseh sekali bahasa maduranya kalau bicara dengan penjual menawar harga yang akan dibelinya.Dari awal kami bertemu, aku sudah menduga tapi belum berani bertanya kepada bapak. 

Banyak sekali belanjaannya, aku sudah merasa berat membawa keranjang yang penuh. Segala macam dibeli. Seingatku nenek di rumah kalau belanja, cukup untuk yang akan dimasak hari itu saja. Beda dengan orang kota ya. . belanja banyak sekalian trus disimpan di kulkas untuk beberapa hari. 

Untung saja pulangnya ibu mengajak naik becak. Lega rasanya. 

Bersambung. 

Manado 20 Maret 2016. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun