Mohon tunggu...
Umi Setyowati
Umi Setyowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu rumah tangga

Wiraswasta yang suka membaca dan menulis fiksi sesekali saja.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

"Asa yang Tersisa" (2)

16 Maret 2016   21:44 Diperbarui: 17 Maret 2016   08:30 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

No. 84. Umi Setyowati. 

#tantangan100harimenulisnovelFC

Bab. I 

2 / 

Banyuwangi, kota di ujung timur pulau Jawa. Dahulu dikenal sebagai kota santet. Kini lebih dikenal dengan "The Sunrise of Java " Dari sebelah utara berbatasan dengan Situbondo, dari timur berbatasan dengan Selat Bali, dari sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia, dan dari sebelah barat berbatasan dengan Jember serta Bondowoso.Di sana aku dan adikku dilahirkan. 

Usiaku dan adikku hanya terpaut satu tahun. Sehingga ketika kami sudah masuk sekolahTK, aku di kelas nol besar dan adikku di kelas nol kecil. 

Secara berpakaian serta pernik-pernik anak perempuan, dari ujung kaki hingga ujung kepala, yang kami pakai selalu sama. Seperti anak kembar, yang berbeda hanya postur tubuh saja,aku lebih tinggi. Dan adikku juga lebih putih, lebih cantik kalau kulihat dari foto jaman itu. 

Suatu hari, sepulang sekolah, sambil menunggu becak menjemput, kami bermain di kebun sebelah sekolahan. Di halaman rumah orang itu, banyak sekali pepohonan, ada sebuah jeruk nipis yang tergeletak di bawah pohonnya, oleh adikku diambil dan dibawa pulang. Aku sudah melarangnya, buat apa jeruk kecut begitu, tapi dia memaksa, dimasukkannya dalam tas sekolah. 

Malamnya, badan adikku panas sekali, ibu memberinya kompres, handuk kecil dibasahi dan ditempelkan di keningnya. Sebentar-sebentar diperas dan ditempelkan lagi, begitu sampai pagi. Hari itu kami tidak masuk sekolah, aku gak mau berangkat sekolah sendirian, kami selalu bersama ke manapun. 

Waktu itu, di zaman itu, seingatku kalau ada yang sakit, kami cukup berobat ke rumah pak mantri bukan ke dokter. Demikian juga ibuku membawa adikku ke sana. Diberi obat puyer, biasanya dua kali minum sudah sembuh. 

Tapi kali ini sampai dua hari, adikku belum sembuh juga. Bahkan kata ibuku, badannya semakin panas. Semalaman itu kulihat ibu dan nenekku serta saudara - saudara kami berkumpul di dalam kamar menjaganya, sambil terus menerus mengganti kompres, aku sedih sekali melihat adikku sakit. 

Pagi hari ketika aku bangun tidur, kukira adikku sudah sembuh, ibu sudah melepaskan kompresnya, tapi kok orang -orang semua pada menangis? 

Setelah itu banyak sekali tetangga yang datang menjenguk adikku, bu guru kami TK semua datang, juga teman - teman guru ibuku.Saudara ibu yang rumahnya jauh juga banyak yang datang menjenguk.Rumah kami penuh orang mulai di depan sampai ke belakang. 

Setiap bersalaman dengan orang yang baru datang, kulihat ibuku menangis, aku ikut-ikutan menangis tanpa kutahu sebabnya. Menempel terus aku di dekat ibu sambil menggelayutkan tanganku di tangan ibu. Sesekali air mataku kuusapkan di baju ibu yang panjang ke bawah. 

Tak lama kemudian, kulihat seseorang entah siapa, menggunting baju yang dipakai adikku tidur. Trus diangkat dan dimandikan oleh orang banyak. Tapi aku tak diijinkan mendekat ketika ibuku juga menyiram air satu gayung di sekujur tubuh adikku. 

Tiba-tiba nenek menggendongku,membawaku keluar ke rumah tetangga. Aku menangis dan meronta sejadi -jadinya. Nenek justru semakin kuat memelukku, sambil mendiamkan tangisku. 

Di sa' at aku mulai diam, barulah aku diturunkan, di dudukkan di sebuah kursi. Ketika nenek lengah, berlarilah aku secepatnya pulang mencari ibu, nenek mengejar dan memanggil - manggil tak kuhiraukan lagi. Menyelinap aku diantara para tamu yang pada berdiri. Satu persatu kuamati, di mana ibu  ? 

Sampai di pintu depan, barulah kutemukan ibuku, berdiri diam mematung bersimbah air mata, pandangannya menatap orang -orang yang baru saja pergi. beriringan keluar dari halaman rumah kami. 

Ibu mengangkat dan erat sekali mendekapku, lirih suaranya berbisik " adikmu sudah pulang ke rumah Tuhan, sekarang kita tinggal berdua, Yowa tidak boleh nakal ya. . !" begitu kata ibu, sambil menempelkan pipinya di pipiku, lamaaa sekali. 

***

Satu minggu kemudian, hari itu hari minggu, aku libur sekolah dan ibu libur mengajar tentu. Datang tamu seorang laki -laki yang aku belum pernah melihatnya. Sosoknya tinggi, gagah dan tampan, tidak gemuk, tidak kurus juga, sedang. Rambutnya lurus tersisir rapi, berkaca mata minus .Senyumnya sangat simpatik, memandangku dari ujung kaki hingga keatas, aku dibuatnya heran. 

Ibu mempersilakan masuk ke dalam rumah. Kami bertiga duduk di ruang tamu, Banyak oleh-oleh yang dibawanya untukku. Boneka cantik, tas sekolah, buku buku bergambar, semuanya barang bagus yang belum kupunya, atau bahkan mungkin belum ada di toko di kota tempat tinggal kami. 

Bersambung. 

Manado 16 Maret 2016. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun