Siapa yang pernah mengalami atau sedang berada di situasi di tempat kerja di mana satu, dua bahkan beberapa rekan kita sedang mengajukan proses resign? Bagaimana perasaan kita sebagai sesama rekan sejawat? Biasa saja? Santai? Senang? Sedih? Atau ingin ikut mengajukan resign juga? Hehe
Resign atau berhenti bekerja atas kemauan dan kesadaran diri sendiri tanpa paksaan dari pihak lain memang menjadi hak mutlak karyawan setelah melewati masa kontrak yang telah disepakati.Â
Memutuskan untuk resign dari pekerjaan memang bukanlah perkara mudah karena tentu banyak fakor yang harus dipertimbangkan, baik untuk diri sendiri dan tidak menutup kemungkinan juga bagi orang-orang di sekitar kita.Â
Namun, saat melihat satu per satu kolega kita resign, ada sedikit kegoyahan juga di hati yang membuat kita gamang apakah akan tetap bertahan atau ikut resign juga seperti yang lainnya.
Fenomena resign berjamaah ini sebenarnya bukanlah hal yang baru dan bisa dikatakan lumrah-lumrah saja terjadi.Â
Biasanya resign berjamaah ini dipicu oleh beberapa sebab seperti lingkungan kerja yang dirasa sudah tidak kondusif, aturan atau kebijakan management yang dianggap merugikan karyawan, masalah gaji (entah dari sisi kenaikan yang lambat atau ketidak adilan skema penggajian antar karyawan) bahkan bisa juga hanya sebatas tidak suka dengan atasan dan mungkin masih banyak lagi faktor penyebab yang lain.
Mengapa resign bisa menular?
Tapi, mengapa bisa sampai menyebabkan eksodus atau berjamaah seperti itu?
Nah ini yang menarik dan mengapa disebutkan bahwa resign itu bisa menular. Satu keresahan atau ketidak puasan yang dirasakan satu orang dalam suatu kelompok, saat hal ini dibicarakan dan ternyata membuka ruang keresahan yang sama yang dialami banyak pihak, biasanya akan membuat banyak orang yang merasakan hal yang sama ini bersatu untuk saling berbagi empati dan memang sudah hukum alam bahwa yang sama cenderung akan berkelompok.
Begitu juga di dunia kerja, saat satu karyawan mengalami kekecewaan, ketidak adilan atau apapun itu yang dia anggap merugikannya dan dia membicarakan itu dengan sesama karyawan yang juga diamini pendapatnya, maka beberpa karyawan ini akan bersatu di bawah kesamaan rasa kecewa tadi sehingga mereka akan merasa senasib sepenanggungan.
Di sisi lain mereka juga merasa sedikit lega karena ada orang lain yang ternyata juga merasakan apa yang sedang dirasakan, namun di sisi lain, rasa kebersamaan ini juga bisa menjadi senjata makan tuan saat salah satu di antara mereka memutuskan untuk keluar atau resign dari lingkungan tempat kerjanya.Â
Secara psikis, hal ini akan membuat teman-teman nya yang lain yang senasib tadi merasa rapuh dan semakin lemah saat satu per satu orang-orang yang mempunyai pengalaman dan pemikiran yang sama sudah tidak bersama lagi di tempat yang sama.
Ikatan emosional inilah yang membuat mengapa resign itu menular, dengan catatan harus ada dulu benang merah kesamaan senasib sepenanggungan yang dirasakan bersama, sehingga tindakan ini bisa memicu tindakan yang sama bagi orang-orang yang berada di lingkup tersebut.Â
Berbeda cerita bila nilai, pemahaman dan sudut pandang kita berbeda dengan apa yang dirasakan rekan kerja yang lain, tentu hal ini tidak akan banyak berpengaruh terhadap keputusan kita.
Resign perlu perencanaan matang, tidak sekedar ikut-ikutan
Mengetahui apa dan bagaiamna posisi kita, apa tujuan kita baik dalam jangka pendek, menengah dan panjang di tempat kerja sangat penting supaya kita tidak mudah terombang-ambing dan fomo saat eksodus resign terjadi di lingkungan kita.Â
Saat melihat banyak rekan kita resign dengan berbagai macam alasan, tanyakan pada diri sendiri dulu apakah keinginan kita untuk resign juga murni datang dari dorongan diri sendiri atau hanya terpengaruh suasana karena melihat orang lain melakukannya?Â
Bila ini tidak bisa dipahami dengan jelas, maka sudah pasti keputusan yang kita buat nantinya akan kita sesali di kemudian hari.
Memutuskan resign itu sekali lagi tidak mudah kecuali kita sudah tidak punya masalah yang berkaitan dengan uang dan pemenuhan hajat hidup, silahkan saja bila memang itu yang terbaik.Â
Namun, saat masih banyak hal yang harus dipikirkan matang-matang dan setelah ditimbang-timbang ternyata dampak jangka panjang memang mengharuskan kita resign (bukan karena fomo), maka perlu pula merencanakan exit plan yang bagus supaya landing kita mulus.Â
Tidak hanya dari sisi memenuhi urgensi kebutuhan diri kita sendiri, namun juga terkait bagaimana tetap bisa memenuhi tanggung jawab yang sudah di emban apalagi bila kita sudah berkeluarga, sehingga kita bisa lebih wise antara positioning diri sendiri dan mereka yang berada di bawah tanggung jawab kita sehingga keputusan yang kita ambil bisa win win dan tidak merugikan salah satu pihak.
Resign boleh-boleh saja, tapi pastikan jangan karena fomo ya dan rencanakan dengan baik bagaimana kehidupan pasca resign nantinya supaya tidak ada penyesalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H