Bila pada bahasan di atas kita membahas perbedaan dari sudut pandang arti kata dan bahasa, sekarang kita akan melihat bagaimana pengaruh kata dan makna ini juga turut mempengaruhi pola perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari.
Mungkin pada zaman dahulu saat kita merasakan lapar pasti kita akan berusaha untuk problem solving kondisi lapar ini dengan cara makan dan yah seadanya asal ada nasi, lauk dan sayur, sesederhana itu.Â
Namun, di zaman modern ini, saat kita merasakan lapar, maka solusinya bukan hanya bagaimana cara mengatai rasa lapar dengan makan saja, namun sudah berkembang menjadi bagaimana mengatasi rasa lapar dengan cara makan dan pilihan kuliner atau masakan apa yang bisa dimakan?
Jadi untuk makan saja kita sekarang dihadapkan dengan beragam pilihan yang seolah tidak ada habisnya, maka dari itulah muncul istilah "wisata kuliner", "pekan kuliner", "culinary experience" dan berbagai macam kemasan aktivitas makan yang tadinya sangatlah sederhana dan mendasar, dikemas menjadi sesuatu yang branding, keren atau up to date dan menjual, yakni menjual taste atau cita rasa.
Aktivitas makan rasanya sudah tidak lagi hanya menjadi kebutuhan dasar namun juga sudah upgrade dan bisa bertransformasi menjadi kebutuhan sekunder bahkan tersier tergantung situasi dan kondisi.Â
Jadi bila kita ingin makan, kita bisa menjadikan aktivitas makan kita ini sebagai aktivitas primer, sekunder maupun tersier. Sebagai contoh saat kita lapar, bila mindset kita menganggap makan ini adalah primer atau dasar dan hanya untuk mengatasi supaya tidak lapar maka kita akan makan apa saja asal terpenuhi standar atau komposisi gizinya seperti karbohidrat, protein, serat (nasi, lauk sayur) itu pun sudah cukup.Â
Namun, saat mindset kita menganggap makan ini tidak hanya kebutuhan primer namun juga menambahkan atribut sekunder atau tersier, maka saat lapar selain ingin makan kita juga ingin makanan yang enak, di tempat yang bagus, fancy dan syukur-syukur instagramable sehingga dasar dan tujuan makannya sendiri menjadi bias dengan atribut-atribut tadi. Bisa kita lihat di zaman sekarang ini dan hal itu dianggap lumrah-lumrah saja.
Well, semua kembali ke pribadi masing-masing ya mau pilih yang mana, asalkan kita tidak kehilangan kejernihan pikiran dan tidak salah kaprah dalam memahami konteks, sehingag tidak tumpang tindih dalam memposisikan mana yang primer, sekunder dan tersier dalam hal apapun sebenarnya tidak hanya soal makan.Â
Dengan begitu, harapannya kita bisa menempatkan segala sesuatu sesuai porsi dan kondisinya, bukan malah kita yang dikendalikan oleh ketidak tahuan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H