Mohon tunggu...
Umi Fitria
Umi Fitria Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary Me

Seorang Ibu, wanita, teman, partner yang selalu ingin membuka hati dan pikiran untuk belajar tentang hidup. visit my blog on https://www.simpelmommy.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Influencer Bukan Segalanya, Tetap Jadilah Diri Sendiri

14 Maret 2022   14:08 Diperbarui: 15 Maret 2022   06:05 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi influencer (shutterstock)

Entah sudah tidak terhitung berapa banyaknya influencer-influencer baru yang bermunculan sejak era media sosial mencapai puncak trendnya.

Tidak sedikit pula dari mereka yang bahkan mendulang sukses dalam jangka waktu yang tidak begitu lama, indikasi sukses di sini adalah memiliki banyak pengikut atau subscribers di media sosial.

Tidak ada yang salah dengan semua itu, karena memang tujuan dibuatnya platform media sosial memang didesain seperti itu, yang berawal dari saling sapa, temu, hingga berkembang menjadi konsep idol dan follower.

Tidak bisa dipungkiri juga, zaman sudah berkembang sedemikian pesat dan bisa dipastikan hampir semua orang pernah atau bahkan sering berinteraksi dengan media sosial.

Hal ini berlaku juga dalam prinsip ekonomi kiranya, di mana ada pasar yang memiliki potensi, di situlah akan banyak bermunculan peluang usaha, salah satunya yang sekarang banyak diminati adalah menjadi seorang influencer.

Pergeseran paradigma karir

Bila dahulu kita sering mendengar anak-anak bercita-cita ingin menjadi dokter, wirausahawan, polisi, astronaut dan banyak profesi umum lainnya.

Di era teknologi digital ini rupanya banyak terjadi pergeseran besar-besaran dalam memandang suatu karir.

Bila pertanyaan yang sama kita lontarkan di zaman sekarang, tentu satu dua masih ada yang ingin menggeluti profesi profesional pada umunya. Namun yang mengejutkan, dalam sebuah survei yang dilakukan untuk mengetahui minat dan cita-cita pada responden anak-anak, diketahui bahwa sebagian besar ingin bercita-cita menjadi vlogger atau youtuber.

Tidak hanya anak-anak bahkan bila kita lihat, banyak juga orang dewasa yang memang sengaja berhenti dari pekerjaan yang sekarang ditekuni untuk menjadi influencer ataupun berkarir di ranah digital lainnya dengan alasan ingin menekuni passion.

Trend seperti ini tidak bisa dipungkiri lagi karena memang wadahnya ada, ada sarana prasarannya, ada marketnya dan juga ditunjang dengan monetisasi sehingga terciptalah lahan untuk berkarir, dan apapun itu yang pada akhirnya sangat bisa diharapkan untuk menggantikan apa yang selama ini kita cari dan butuhkan dari menjalankan pekerjaan kita sebelumnya.

Jangan tersesat di hutan digital

Dengan semakin terbuka lebarnya peluang-peluang tersebut, semakin banyak pemain yang masuk untuk mencoba keberuntungan. 

Semua bisa masuk ke ranah digital tanpa mengenal usia, gender, kualifikasi, kualitas bahkan tingkat pendidikan, semuanya bersaing tanpa ada standarisasi, sehingga kita akan sangat sulit membedakan mana yang benar-benar mempunyai tendensi dan kualitas yang bagus dan mana yang tidak. 

Pelaku bisnis digital ini yang kemudian disebut atau menyebut dirinya influencer pun mulai bermunculan sesuai bidang atau background yang diusung masing-masing personal.

Tidak sedikit dari kita yang sangat mengidolakan karena mereka memerikan insight dan knowledge yang selama ini kita tidak tahu sehingga kita merasa tercerahkah berkat influencer tertentu, sah-sah saja dan tidak ada yang salah.

Yang menjadi masalah adalah saat kita sebagai konsumen atau target market, menjadi sangat militan atau sangan mengidolakan influencer bahkan mulai menjadikan nya panutan, bukan kah seperti itu yang banyak terjadi?

Influencer juga manusia, sama seperti kita

Bila sudah sampai menjadikan panutan, biasanya kita menjadi tidak lagi obyektif dan seolah-olah semua kata influencer adalah kebenaran yang harus kita ikuti, di sinilah kelirunya. Influencer juga manusia biasa sama seperti kita, mereka juga bisa salah dan benar.

Kita sebagai pengguna media sosial harus seimbang dalam mencerna semua informasi yang dipaparkan oleh para influencer tersebut, kita harus selalu aware dan menggunakan akal sehat kita sehingga kita bisa mengolah dan mencerna informasi yang diberikan secara utuh, tidak menelannya bulat-bulat.

Hal pertama yang harus kita lakukan adalah senantiasa membangun kerangka berpikir yang kritis, kita sebagai obyek atau penonton tidak boleh mudah percaya dengan apapun dan siapapun yang berbicara di media sosial tanpa melakukan kroscek data, sehingga kita bisa terhindar dari hasutan dan pengiringan opini lewat media sosial.

Kita tidak bisa menyalahkan media sosial atau menyuruh orang untuk berhenti menjadi influencer, ekosistem seperti ini sudah ada, sudah settle dan bahkan akan semakin berkembang di kemudian hari.

Kita tidak bisa menolak perkembangan zaman, yang bisa kita lakukan adalah menerima, berkolaborasi dan menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat kepada diri sendiri.

Jangan mengambil keputusan apapun dalam hidup kita berdasarkan apa kata orang lain, semua yang di luar diri kita hanya memberikan pengaruh atau influence. Penentu dan pengambil keputusan adalah diri kita sendiri.

Jadi, jangan mudah heran dan jangan mudah terpukau di media sosial ya, slow saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun