Semua orang pasti tahu sandwich dan hampir semua suka makan sandwich terlepas dari beragam varian isi di dalamnya.Â
Yang membuat menarik kali ini adalah bagaimana terminologi sandwich rupanya juga menjadi sebuah analogi dalam dunia finansial beberapa waktu belakangan ini dan menjadi salah satu topik yang banyak menjadi minat masyarakat, yakni pembahasan mengenai generasi sandwich atau biasa kita kenal dengan jargon sandwich generation.
Seperti definisi sandwich itu sendiri, di mana isiannya diapit oleh roti atas dan bawah, generasi sandwich adalah generasi yang bernasib sama seperti isian sandwich, yakni generasi yang harus menghadapi kenyataan untuk memenuhi kebutuhan generasi tua diatasnya dan juga generasi muda di bawahnya.Â
Singkatnya adalah mereka yang harus bekerja untuk menghidupi orangtua dan juga anak-anak mereka. Secara analogi mereka berada di posisi terhimpit, sehingga kurang leluasa dalam mengelola penghasilan karena ada orangtua yang harus dibiayai dan juga kehidupan keluarga inti mereka sendiri, terutama saat sudah ada anak-anak di dalam keluarga.
Awal mula istilah generasi sandwich
Merujuk pada pintek.id, istilah generasi sandwich sendiri pertama kali diperkenalkan oleh seorang professor bernama Dorothy A. Miller pada tahun 1981 dalam sebuah jurnal yang berjudul "The Sandwich Generation: Adult Children of The Aging".Â
Kita semua tahu bahwa pola generasi sandwich seperti ini memang sudah biasa kita jumpai dan banyak terjadi dalam lingkup masyarakat kita.Â
Istilah generasi sandwich sendiri memang sudah lama ada, namun beberapa tahun ini kembali mencuat dan sangat hits karena terbantu oleh adanya social media dan juga menjadi tool of campaign terutama dari industri finansial.Â
Mengapa disebut menjadi tool of campaign? Karena ini juga salah satu strategi marketing dengan mengambil sample problematic dalam masyarakat sehingga akan lebih mudah tersampaikan pesan dan tujuan di dalamnya, karena bagaimanapun juga tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini sangat relate dengan kenyataan yang dialami banyak orang dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah salah menjadi sandwich generation?
Bila kita bertanya apa salahnya menjadi generasi sandwich? Mungkin ini akan jadi pertanyaan yang sedikit menjebak, karena banyaknya asumsi yang beredar di masyarakat sekarang ini.Â
Dari sisi generasi tua, beberapa beranggapan bahwa adalah hal yang lumrah untuk anak membiayai orangtuanya karena itu adalah bentuk bakti dan balas budi anak kepada orangtua yang selama ini sudah susah payah membesarkan, menyekolahkan, dan memberikan semua fasilitas untuk anak.Â
Dari sisi anak, beberapa merasakan situasi ini sebagai beban yang mau tidak mau harus ditanggung, karena takut untuk menjadi anak durhaka bila tidak menuruti permintaan orangtua, namun di sisi lain mereka juga harus memikirkan kebutuhan hidup keluarga dan anak-anak mereka sendiri yang notabene masih bergantung kepada mereka, hal inilah yang membuat banyak generasi sandwich merasa bagai makan buah simalakama.
Sebelum menjawab benar salah, alangkah baiknya kita mengurai terlebih dahulu awal mula bisa terjadi siklus beruntun generasi sandwich ini.Â
Beberapa perencana finansial dalam edukasinya mengatakan bahwa generasi sandwich terbentuk karena dahulunya mayoritas generasi tua di atas kita kurang mempersiapkan dana hari tua mereka sendiri, sehingga saat mencapai usai tua mereka tidak mempunyai dana pensiun sehingga harus bergantung sepenuhnya pada anak.
Well, hal ini tidak sepenuhnya salah juga, namun bila kita lihat dari kacamata yang lebih kompleks, mungkin kalau ditanya mengapa generasi tua dahulu tidak prepare dalam menyiapkan dana pensiun, jawabannya juga bisa beragam.Â
Mulai dari kurangnya pendidikan dan kesadaran tentang pengelolaan keuangan, merasa hidup ya mengalir saja dijalani apa adanya sampai dengan bagaimana mau menyiapkan dana pensiun, lahwong penghasilan yang didapat saja semua sudah habis untuk membiayai keluarga dan anak-anak, apalagi bila dalam satu keluarga banyak memiliki anak, tentu akan banyak juga pengeluarannya.Â
Jangan lupa juga bahwa kondisi zaman dan standar hidup di zaman orangtua kita dahulu juga berbeda dengan zaman sekarang sehingga sedikit banyak juga berpengaruh dalam pembuatan keputusan, terutama dari sisi finansial.
Bagaimana memutus siklus generasi sandwich?
Kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah bila hanya mencari siapa yang salah karena hal ini justru akan menjadi masalah baru ke depannya.Â
Dengan semakin boomingnya istilah generasi sandwich ini, kita yang tadinya fine-fine saja membantu biaya orangtua, mulai ada rasa berat di hati, mulai merasa kita menjadi korban miss management orangtua sehingga tidak sedikit komentar-komentar di media sosial yang justru berbalik menyalahkan orangtua, tentu hal ini sangatlah disayangkan dan justru semakin memperkeruh keadaan.
Yang bisa kita lakukan bila kita berada di posisi generasi sandwich adalah pertama, menerima dengan legowo atau lapang dada bahwa memang kita adalah generasi sandwich dan it's okay karena mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah.
Tidak ada salahnya juga kan membantu orangtua selama masih dalam batas kapasitas kita, bila sudah di luar kapasitas kita, maka jalan tengahnya bisa kita sampaikan dengan komunikasi yang baik dengan orangtua atau bermusyawarah dengan saudara yang lain agar tidak terlalu berat.Â
Kedua, setelah kita menerima dan menyadari kondisi, tentunya kita tidak mau hal ini berulang ke generasi di bawah kita karena ternyata menajdi generasi sandwich tidaklah mudah, maka dari itu kita harus membekali diri dengan pengetahuan dan pendidikan pengelolaan keuangan yang baik mulai dari sekarang, sehingga kita bisa memitigasi masalah yang berpotensi muncul di masa yang akan datang.Â
Yang lebih utama adalah kita bisa mulai mempersiapkan dana hari tua sejak kita muda sehingga saat memasuki masa tua kita masih mempunyai simpanan dan cadangan.Â
Mindset yang bisa kita bentuk dari sekarang adalah bagaimana meminimalisir agar anak kita di masa yang akan datang bisa lebih leluasa dan fokus dengan keluarga dan anak-anaknya kelak.
Jadi perlu juga kita sebagai orangtua mempunyai pola pikir yang proper, karena saya pribadi meyakini saat orangtua tulus ikhlas dan bisa menjaga kredibilitasnya di mata anak-anak, tanpa diminta pun anak dengan kesadaran dirinya akan menyayangi dan membantu orangtuanya saat dibutuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H