Lantaran khawatir dan demi keamanan sang anak, orangtua mengirim Merry kuliah di Singapura. Ia terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Teknik Elektro di Universitas Teknologi Nanyang (Nanyang Technological University (NTU), Singapura. Menurut Merry, saat itu ia merasa berada di dalam sebuah film perang. Di mana ia diminta pergi meninggalkan Indonesia agar selamat.
Kalau ada yang beranggapan, Merry bisa kuliah dengan tenang karena memiliki uang untuk biaya pendidikan dan hidup di Singapura, itu salah besar. Istri dari Alva Christopher Tjenderasa ini kuliah di Singapura dengan biaya pas-pasan, bahkan cenderung kurang.Â
Maklum semuanya serba terburu-buru, sehingga tidak ada persiapan saat harus hijrah ke negeri orang. Begitupun soal kemampuannya berbahasa Inggris, karena ia sempat gagal dalam tes Bahasa Inggris.
Di tengah kondisi keuangan yang sederhana, Merry ikut program pinjaman pelajar dari pemerintah Singapura. Kredit pendidikan ini memang banyak diterapkan di negara lain agar memperoleh pendidikan layak. Tapi namanya pinjaman atau utang, Merry harus mengembalikannya.
Total jenderal utang yang dipinjam Merry sebesar 40 ribu dolar Singapura. Sadar dengan tumpukan utang yang harus dicicil, dan agar tetap bertahan hidup di negeri Singa, Merry terpaksa bekerja paruh waktu mulai dari sebagai penyebar brosur, menjaga toko bunga, dan pekerjaan lainnya.Â
Saat itu, uang saku Merry hanya sebesar 10 dolar Singapura per minggu sehingga kadang dirinya harus menahan rasa lapar dengan berpuasa.
Tak ingin seperti ini terus, Merry memutar otak, berpikir keras, dan menancapkan tekad untuk bebas dan merdeka secara finansial saat usianya menginjak 30 tahun. Hal ini ia niatkan ketika berumur 20 tahun.
Tekad saja tidak cukup, harus ada realisasi. Mimpi besar itu seperti menemukan jalan untuk mewujudkannya. Merry berpikir bila hanya menempuh karier sesuai pendidikannya dan bekerja di sebuah perusahaan teknologi, maka ia baru bisa membayar pinjaman tersebut setelah 10 tahun bekerja.
Dengan status mahasiswa, ia memberanikan diri terjun ke dunia bisnis Multi Level Marketing (MLM). Bukannya untung, malah buntung dengan kerugian sebesar 200 dolar Singapura. Sudah jatuh tertimpa tangga, ini juga yang dirasakan Merry. Ia kembali mencetak rugi yang membuatnya kehilangan fulus 10 ribu dolar Singapura saat menjajal peruntungan di investasi saham.
Meski hidup pas-pasan dan dirundung kemalangan karena bisnisnya tak untung, Ibu dari dua orang anak ini mampu menyelesaikan studinya tepat waktu menjadi seorang Insinyur Teknik Elektro.
Jalan menuju kesuksesan mulai terbuka bagi Merry Riana usai lulus dari bangku kuliah. Dewi fortuna berpihak padanya. Tepatnya di tahun 2002, ia bergabung dengan sebuah perusahaan keuangan sebagai Konsultan Finansial. Profesinya juga mengharuskannya menjual berbagai macam produk keuangan, seperti asuransi dan kartu kredit.