Entah alasan apa mereka menamainya Bukit Persaudaraan namun yang pasti bagi kami berdua bukit kecil ini memberi cerita singkat yang belum terselesaikan. Langit semakin memerah, jari jemari mentari seperti lidah lidah api, menyudutkan warna kebiruan di angkasa, sedang ilalang berwarna emas terhampar luas memeluk kami yang membeku kokoh, dan ini pertemuan pertama kami setelah belasan tahun.
Waktu telah menunjukan jam lima sore, dan kita masih saja diam tak berbicara, hanya memandangi gerak mentari yang perlahan turun dan bersembunyi di balik Gunung Meja, cahaya merahnya membakar jantung yang berdenyut tak tentu, sejuta kata yang sebenarnya sudah meluap didadaku seakan musnah dan tercekat di tenggorokan, aku hanya bisa memandangnya sekilas lalu mengalihkankan ke senja atau jembatan yang kaku di bawah kakiku.
“Gimana kabarnya kak?” Linda akhirnya berbicara
“seperti matahari itu” jari telunjukku menunjuk mentari yang mulai menghilang
Dia tersenyum lalu berujar “lama tak bertemu kak!”
“tak seperti matahari itu, yang pasti tiba esok pagi” jawabku sekenanya dengan ketus
“tepatnya empat belas tahun enam bulan tiga minggu tiga hari kak” balasnya
“hah!!” aku terkejut dan memaling wajahku melihatnya, wanita yang berbibir tipis dengan rambut lurus sebahu
Ia hanya tersenyum membalas pandanganku, lalu ku cari cari keping keping masa lalu yang ku harap masih ada, dan ternyata sorot matanya masih menyimpan kepingan yang ku sebut cinta.
“katanya sekarang kau sudah jadi ibu guru?”
“iya kak, tapi masih honor kak, di Lambakara”
“wah jauh juga”
“iya soalnya tunanganku orang Mangili kak”
“apa? Tunangan!” aku begitu kaget hingga tak sadar suaraku sedikit berteriak
Linda pun diam lalu tertunduk
“apa maksud mu dengan tunangan?”
Linda masih terdiam
Aku pun berdiri di hadapannya
“tolong Linda, jangan diam!” Linda tetap saja membisu
“Linda jawab pertanyaanku!” suaraku semakin keras membelah sepi di bukit itu
“kau tidak tau maksud ku kembali ke kota kecil ini?” tanyaku
Namun rangkaian perkataanku tak mampu membuatnya bersuara sedikitpun, ia makin larut dalam kediamannya, sambil mencabut beberapa rumput liar yang menjalar di dekat kakinya.
“ahhhh.....Linda bicara!!!” bentak ku yang masih bediri di depannya, namun tak juga membuatnya berbicara, lalu perlahanku duduk di depannya, sambil memegang kedua lututnya, dan menatap kedua matanya sedalam mungkin.
“ku mohon Linda bicaralah!”
tiba-tiba Linda memelukku, begitu erat hingga aku merasakan denyut jantungnya yang begitu dekat dengan jantungku
“kenapa begitu lama perginya kak?” Lindapun terisak perlahan, hingga tak disadarinya butiran cair dari matanya membasahi bahuku
“ku pikir kau sudah lupa padaku, seorang gadis kampung” lanjutnya
“Linda! Kau cinta pertamaku”
“tolong kak, jangan di jawab dulu, kenapa pergi begitu lama, tak ada sekalipun kabar, apa kau tak pernah berpikir perasaanku kak?” tangisnya makin keras seiring pelukannya yang semakin erat
“setiap hari aku hanya berdoa menunggu dan menunggu, semenjak SMA aku pindah ke Waingapu, entah tak terhitung berapa kali, aku ke bandara atau pelabuhan dengan harapan kak Umbu tiba-tiba muncul, hingga belasan tahun akhirnya ku terima sms darimu, tadi pagi. Aku tak sempat lagi berpikir apa apa, hanya satu kak, menemuimu”
“kak, aku kangen!” aku masih terdiam melesap ke dalam suasana ini, tanganku ingin sekali membalas pelukan hangatnya namun ada sesuatu yang menahan tanganku untuk menyentuhnya
“lama sekali, lama sekali kau menghilang kak!”
Setelah beberapa menit, perlahan pelukannya terlepas, rupanya dia telah berhasil menenangkan emosinya, berbeda denganku yang hanya berani bersembunyi dalam kebekuanku dengan keadaan ini, gadis kecil yang teman sepermainanku dahulu, sebelum ku berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahku kini telah berubah banyak, mungkin aku yang belum menerima keadaan yang tak seperti bayanganku, berbeda dengan Linda yang sudah berani menunjukan perasaanya dan aku?
Kini gadis kecil itu telah menjadi gadis dewasa yang sangat manis dengan rambut lurus sepanjang bahu agak kecoklatan, menatapku sangat dekat seperti belati menikam tepat di jantungku dan aku tak kuasa melihat sorotan mata itu, cintakah itu?
Perlahan tapi pasti wajah yang berhadapan denganku semakin mendekati wajahku hingga desahan nafasnya bisa kurasakan, aku tau apa yang segera terjadi, Linda memelukku lagi lalu mencium bibirku penuh kehangatan, laksana anak panah darahku berdesir dan melesat cepat ke jaringan otakku, getaran dalam kepala semakin cepat karena kehangatan sentuhan bibirnya, berbeda dengan wanita wanita lainnya, ada cinta yang dikirim lewat kecupan mesranya, tapi aku?
Aku tetap saja mematung walau kecupan itu sudah berkali kali, ada sesuatu yang menahanku walau aku sangat ingin membalas kecupannya untuk menumpahkan rasa rinduku padanya.
“kenapa kak?”
Ia memandangku lagi dengan tatapan itu, dan aku tetap saja menghindari matanya, lalu kembali lagi matanya meneteskan air mata
“kau tak menginginkannya?” tanyanya lagi
“Linda” seraya ku pegang bahunya, dan berupaya membalas tatapannya
“terimakasih” lanjut ku sambil tersenyum, ia pun membalas dengan senyuman yang merona
Setelah menit menit kemesraan itu kitapun berdua kembali duduk menjuntaikan kaki, dan menikmati senja yang bergerak perlahan
“kau tau kenapa ku ajak kesini?” tanyaku
“tidak kak”
“aku sangat menyukai senja, semenjak di Jakarta hampir setiap hari aku selalu menyapa senja, bagiku kau seindah senja, dan sekarang senja itu sedang di sampingku, dan telah kurasakan nyala apinya”
Linda tersenyum malu
“senja selalu membawa kenangan tentangmu Linda, dan itu yang membawaku kembali kesini ke pulau yang sering ku sebut tenggara, karena ada bidadari yang terjebak dalam ilalang dan menunggu untuk bawa kembali di taman hatiku”
“bidadari itu lebih memilih terjebak kak! Ilalangnya terlalu tinggi, hingga kstria yang datang dari seberang pulau hanya mampu melihatnya, karena jika sang kesatria masuk ke padang yang penuh ilalang itu, ia akan terjebak dan tak akan tau jalan pulang” jawabnya
“maksudmu?”
“kita berdua tau apa maksudnya umbu mirri!..... aku tau kak, alasan kenapa kak umbu hanya diam ketika aku memeluk dan mencium, hidup belasan tahun di jakarta mungkin saja bisa merubah cara pandang ka umbu terhadap adat istiadat di Sumba, tapi bukan berarti lantas merubah adat istiadat tersebut, kakak tetap maramba dan saya tetap ata”
Telingaku terbakar mendengar kata kata yang benar ingin ku hindari
“eri “ panggilku selembut mungkin
“sudahlah kak, aku cukup tau diri, setidaknya sore ini sudah cukup memberi jawaban penantianku slama bertahun tahun, maaf kak kalau akhirnya aku agak berlebihan tadi” ia pun tersenyum manis sekali
“Linda, kita bisa ke jakarta dan menikah disana” balasku
“dan meninggalkan semuanya, serta menjadi orang yang di kucilkan dalam keluarga!, tidak kak! Aku memang sangat mencintaimu kak, tapi aku tak seberani itu, akupun yakin kak Umbu juga tak seberani itu”
“Linda!”
“sudahlah kak, aku tau hari ini akan tiba, mungkin inilah waktu yang tepat untu berpisah kak”
“kau gila! Aku kembali ke Sumba dengan tujuan untuk kau Linda! Pekerjaan dan kenyamanan sudah ku tinggalkan semuanya!”
“tapi bagaimana dengan keluargamu? Kak umbu tak akan seberani itu! Trus bagaimana dengan statusmu kak! Kak umbu di lahirkan dari keluarga yang tak pernah menunduk! Apakah kakak berani menunduk hanya karena seorang hamba! Tidak kak, aku tak akan merelakan itu!, aku tak akan pernah melihatmu menunduk hanya untukku!”
“tapi” sergah ku
“kak, ku mohon hentikan perdebatan ini! Aku tetap seorang wanita! Aku hanya ingin menikmati dan bersyukur atas pertemuan hari ini, ku mohon kak! Mengertilah!”
“apakah kau pernah memikirkan perasaanku?”
“aku pasti memikirkannya kak, sama juga dengan perasaanku kak, bila kita menikah begitu banyak kesedihan, terutama dari keluarga kaK Umbu, maka aku memilih biar kita berdua saja yang merasakan kesedihan itu kak!”
Aku pun terdiam, dan hanya memangdangnya, di matanya telah menggunung riak riak kesedihan yang ingin meledak dan tumpah ruah, namun ia menahannya, dengan helaan nafas ia membentengi riak kesedihan itu sekaligus menyambut aroma malam yang mulai bergerak rendah dengan pekatnya, dan kita berdua pun terdiam sambil menatap kerlap kerlip lampu kota yang mulai menyala satu demi satu.
“kak, merapat lagi kak, aku ingin sekali sangat dekat dengan mu kak”
Akupun merapatkan tubuhku, dan Linda membaringkan kepalanya di bahuku, akupun menyambutnya dengan membelai rambutnya dan sesekali mengacak ngacak rambutnya yang lurus.
“makasih ya kak”
Aku hanya terdiam, ingin kunikmati saat saat ini, mungkin inilah cara yang terbaik membayar lunas kepergianku belasan tahun lalu. Menemani kebersamaan ini dan berharap waktu bergerak dan lebih lambat, mungkin sempat terpikir andaikata aku bukan orang sumba, namun ada yang terikat kuat di tanah ini, aroma ilalang ini, kerlip gemintang yang berpendar benderang, atau bibir merah merekah yang melekat pada bibir apu ataupun rambu.
******
Semenjak kejadian hari itu, aku memutuskan menghilang dari hadapan Linda, hampir lima tahun ku hidup dalam belantara hutan di Sumba, menanam beberapa pohon seperti gaharu atau cendana, dengan harapan bisa melupakan Linda, sempat sesekali berkujung ke rumah orang tuaku sekedar mencari kabar tentang mereka dan Linda, ku dengar kabar bahwa dia sudah memiliki satu anak perempuan, namun yang menjadi kekecewaanku, ku dengar kabar kalau suaminya sering bertindak kasar pada Linda, sampai satu saat ku dengar kabar bahwa Linda telah meninggal dunia, dan ketika ku tiba dirumah ternyata Linda telah meninggal seminggu lalu, katanya karena bunuh diri, entah alasan apa, dan adik perempuannya yang bungsu memberikan sepucuk surat untuk ku. Aku kini hanya meratap di kuburanya, Sambil bersimpuh di nisannya ku baca surat itu, dan tak kusadari air mataku membasahi nisannya. Entah penyesalan atau kesendihan.
Umbu mirri tercinta,
Ku tulis surat ini ketika senja menjadi penentramku, namun ini menjadi senja terakhirku, ku kirimkan kembali senja padamu bersamai sepoi angin yang lirih serta nyala api yang memanggang langit biru nan pucat,
Bagaimana kabarmu kak? Kenapa menghilang lagi? Apakah kau tau ketika rindu sudah tumpah ruah dalam denyut jantungku aku hanya bisa menuju bukit itu, berharap belati senja menikam dan membunuh rindu padamu
Kadang di bukit ini dari kejauhan kulihat camar, perahu kecil di lautan namun aku paling menyukai sungai di bawah perbukitan ini kak, sejauh apapun perjalanannya selalu menuju pada lautan yang sama dan lautan itu selalu setia menanti, tak pernah lautan menghindarinya kak, aku ingin seperti sungai itu kak, menuju mu!Namun aku tak seberani itu,
kelak senja ini adalah senja terakhirku, yang ku peruntukan hanya untukmu kak, semenjak kepergianmu yang pertama kali aku telah memilih mengaliri lautan hatimu, dan kini aku yang memilih pergi kak, dan mati di hatimu
Kak, kelak di tanah suci yang mereka sering sebut surga, tak ada lagi batasan antara kita berdua dan ku yakin disana kau tak akan pernah pergi menghilang kak!
Kak aku kangen!!!
Waingapu, agustus, 2014
Lambakara : desa di kecamatan Pahunga Lodu, Sumba Timur , NTT
Mangili : salah satu wilayah di Sumba Timur
Umbu Mirri : tuan, yang menunjukan kepemilikan
Maramba : bangsawan
Ata : hamba
Eri : adik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H