Bandung - Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah (UM) Bandung Hendar Riyadi mengatakan bahwa munculnya persoalan ekologi dan lingkungan bukan semata-mata karena perubahan alam atau musim yang terjadi secara rutin.
Hendar mengatakan hal tersebut dalam kajian rutin Mimbar Iqra yang berlangsung di ruang dosen UM Bandung pada Selasa (02/01/2024) lalu.
"Ketika terjadi musim hujan dan banjir yang menyebabkan beberapa daerah tenggelam dan orang-orang mengungsi, itu bukan semata karena perubahan alam, melainkan sebagai bencana ekologi. Bencana tersebut terjadi karena perilaku manusia yang tidak ramah atau melanggar aturan dan kaidah ekologi," tutur Hendar.
Hendar mencontohkan luapan air dari selokan yang sering kali terjadi saat musim hujan tiba. Peristiwa itu bukan karena dorongan alam yang mendesak, melainkan karena perilaku manusia yang membuang sampah ke selokan sehingga aliran air terhalang.
"Ini sekali lagi menegaskan bahwa perilaku manusia yang melanggar aturan ekologi akan menyebabkan masalah seperti dalam contoh tersebut," tegas Hendar.
Hendar lantas menyitir konteks keagamaan yang di dalamnya ada satu perilaku yang jarang ditekankan bahkan sering dilupakan yakni karim. Kata karim, ucap Hendar, bukan berarti sebatas kemuliaan atau penghormatan, melainkan memiliki makna yang sangat luas.
Istilah ini, papar Hendar, sering disebut dalam Al-Quran pada berbagai konteks yang mencakup kebaikan, kemurahan hati, kedermawanan, dan kemuliaan.
Kedermawanan merupakan bagian dari makna karim, yang melampaui harapan dan terus menerus memberikan tanpa henti. Dalam Islam, karim memiliki makna yang luas yang juga merujuk pada kedermawanan.
"Dalam budaya dan tradisi kita, perilaku karim tercermin dalam silih asah, silih asih, silih asuh, dan silih wangikeun. Saling menjaga, memberi, dan menciptakan keharuman lingkungan adalah bagian dari perilaku karim yang sesungguhnya. Hal ini juga sejalan dengan prinsip-prinsip ekologi yang bertanggung jawab," imbuh Hendar.
Bagi bisnis yang berkelanjutan, perilaku karim yang saling memuliakan, penuh kedermawanan, dan lainnya, perlu dibangun. Termasuk kampus ketika ingin menciptakan konsep berkelanjutan maka harus membangun perilaku yang menghormati lingkungan, sosial, dan ekonomi secara seimbang.
Namun, hal itu, kata Hendar, sangat tidak mudah karena tantangan utamanya adalah bahwa manusia cenderung menjadi homo economicus yang hanya memikirkan keuntungan. Perilaku karim yang telah tertanam di dalam jiwa terkadang terhambat oleh dorongan untuk mencari keuntungan semata.
"Mengubah kecenderungan ini menjadi homo islamicus, yang menekankan pada nilai-nilai silih asah, silih asih, silih asuh, dan silih wangikeun, menjadi bagian penting dalam menciptakan budaya perusahaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip ekologi yang bertanggung jawab," tandas Hendar.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H