Mohon tunggu...
UM Bandung
UM Bandung Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Muhammadiyah Bandung
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Perguruan Tinggi Muhammadiyah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mimbar Iqra UM Bandung Kupas Karakteristik Ahlussunnah Wal Jama'ah Hingga Piagam Madinah

1 November 2023   09:04 Diperbarui: 1 November 2023   09:11 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bandung - Wakil Dekan Fakultas Agama Islam UM Bandung Cecep Taufikurrohman mengatakan bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia menganut paham aqidah ahlussunnah wal jama'ah. Termasuk juga Muhammadiyah.

Hal itu Buya Cecep---sapaan akrabnya---sampaikan saat mengisi materi Mimbar Iqra edisi keenam yang berlangsung di Balkon Lantai 4 UM Bandung pada Selasa (31/10/2023).

"Aqidah ahlussunnah wal jama'ah yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia, sangat cocok dengan watak masyarakat Indonesia yang ramah dan toleran. Hal ini yang menjadikan karakter umat Islam di Indonesia tidak sama dengan masyarakat Islam di tempat-tempat lain," tutur Buya Cecep.

"Oleh karena itu, konsep dan paham lain, misalnya saja Syiah atau Khawarij, sangat tidak cocok diterapkan di Indonesia," imbuh Buya Cecep.

Tidak boleh memberontak

Lebih jauh Buya Cecep menyampaikan beberapa keyakinan yang dianut dalam aqidah ahlussunnah wal jama'ah. Antara lain tidak boleh memberontak kepada pemimpin yang sah, selama pemimpin tersebut tidak melakukan kekufuran yang nyata.

"Hanya saja, ahlussunah wal jama'ah bukan berarti diam ketika ada pemimpin yang berbuat tidak baik, sebab mereka mengimani kewajiban amar makruf nahi munkar," ungkap Buya Cecep.

Dalam memahami amar makruf nahi munkar ini, kata Buya Cecep, ada dua golongan yang menafsirkannya secara ekstrem. 

Pertama, mereka yang sama sekali tidak mau melakukan amar makruf nahi munkar (tafrith/ekstrem kanan). Mereka berdalih bahwa amar makruf nahi munkar akan menimbulkan bencara dan konflik.

"Sehingga mereka benar-benar tidak mau mengoreksi pemimpin yang keliru. Mereka berdalih dengan ayat-ayat yang melarang terjadinya kerusakan. Di antara yang meyakini pandangan ini adalah Murji'ah, Jabariyah, dan Syiah Imamiyyah," tegas alumnus Universitas Al-Azhar Mesir ini.

Kedua, mereka yang menafsirkannya dengan cenderung ekstrem kiri (ifrath), yakni mereka membolehkan melawan dan memberontak kepada setiap pemimpin yang lalim. Mereka adalah Khawarij, Mu'tazilah, dan sebagian Syiah Zaidiyyah dan Ismailiyyah.

Adapun ahli sunnah, papar Buya Cecep, mereka menerapkan amar makruf tersebut secara seimbang, berada di antara dua kutub ekstrem tersebut. 

"Oleh karena itu, ahlussunnah berkeyakinan mereka tidak memberontak kepada pemimpin yang sah, selama pemimpin tersebut tidak melakukan kekufuran yang nyata," tandas Buya Cecep.

Buya Cecep juga menambahkan bahwa kaum Sunni (ahlussunnah wal jama'ah) juga menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan dan agama serta tidak boleh memaksakan keyakinan. Mereka juga tidak boleh serampangan dalam mengkafirkan ahli kiblat lainnya.

Keberhasilan Piagam Madinah

Dalam konteks mengelola negara yang penduduknya heterogen, Buya Cecep menyinggung keberhasilan Piagam Madinah di zaman Rasulullah SAW sehingga dapat memberikan peraturan yang adil kepada seluruh penduduk Madinah, baik muslim maupun penganut agama lainnya.

"Saat Rasulullah SAW mendirikan negara Madinah, di sana bukan hanya ada umat Islam, melainkan ada Yahudi, Nasrani, dan kaum pagan. Meskipun demikian, keragaman tersebut tidak menjadikan penduduk Madinah bersitegang. Semua tunduk pada aturan dan kesepakatan yang dituangkan dalam Piagam Madinah," pungkas Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Barat ini.

Piagam Madinah tersebut terdiri atas 47 pasal. Sebanyak 23 pasal mengatur hubungan antar umat Islam (Muhajirin dan Anshar).

Sementara itu, 24 pasal mengatur tentang hubungan umat Islam dengan agama lain (Yahudi, Nasrani, dan Kaum Pagan).

Tambahan informasi, selain penggagas Mimbar Iqra, Roni Tabroni, hadir juga pada kesempatan kali ini Wakil Rektor I UM Bandung, Kaprodi PAI, dosen, dan juga puluhan mahasiswa dari berbagai prodi.

Selesai pemaparan materi, peserta Mimbar Iqra pun terlibat diskusi dengan narasumber. Mereka berdikusi secara kritis seputar tema yang menjadi pemabahasan. 

Diskusi Mimbar Iqra berjalan santai, serius, sambil ditemani dengan jagung, ubi, dan kacang rebus, ditambah dengan katimus, sehingga suasana tampak antusias. (FA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun