Merujuk pada program pemerintah yang akan diluncurkan dalam waktu dekat tentu menjadi angin segar bagi keluarga Indonesia. Semua keluarga dengan tingkat perekonomian masih di bawah tentu menjadi langkah awal mendapatkan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Kemiskinan menjadi momok yang mengerikan untuk keluarga saat ini.Â
Tampak di zaman yang serba mudah karena teknologi, justru menjadi mudah pula keluarga mengambil segala keputusan. Sudah banyak terjadi kemiskinan menyebabkan banyak perceraian, KDRT bahkan hingga meregang nyawa. Tentu hal ini yang menjadi landasan awal kenapa pemerintah perlu segera turun tangan mengatasi masalah ini.Â
Latar belakang di atas merupakan hal mendasar yang sangat sering terjadi beberapa tahun terakhir.Â
Batam - 2.456 pasangan mengajukan cerai
Depok - 5.000 kasus perceraian
Kebumen - 5.740 kasus perceraian
(sumber : berbagai media online)
Di atas merupakan beberapa contoh data perceraian yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia. Pada tahun 2016 perceraian mencapai 1,8 juta kasus, kemudian pada tahun 2017 naik menjadi 1,9 juta kasus perceraian  (Badilag) MA. Artinya kasus perceraian terus meningkat dan belum terpecahkan solusinya saat ini. Perlu ditelusuri lebih lanjut kenapa perceraian ini bisa terjadi. Faktor ekonomi cukup memberikan prosentase yang tinggi sebagai biang keladi perceraian di Indonesia.Â
Sudah sepatutnya pemerintah perlu memberikan solusi aktif yang membangun untuk membuat keluarga mandiri dan sejahtera. Pencanangan program pemerintah yang bertajuk Program Keluarga Harapan (PKH) tentu menjadi langkah nyata pemerintah membuktikan peranannya dalam ranah (sekup) keluarga. Tentunya bagi penerima bantuan ini akan merasakan dampak positif bagi keberlangsungan kehidupan Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Program yang akan diberikan dengan periode selama 6 tahun ini diharapkan benar-benar tepat sasaran dan efektif untuk mengentaskan kemiskinan dalam keluarga.Â
TAK SEKEDAR MEMBERI
Untuk problematika seperti ini sangat diharapkan pemerintah tak langsung lepas tangan atau sekedar menggugurkan kewajiban untuk memberikan bantuan saja. Perlu secara berkesinambungan mengontrol, melihat dan mengevaluasi setiap tindakan yang telah dilakukan kepada KPM. Mulai dari pelayanan kesehatannya apakah sudah sesuai standar yang diinginkan atau belum, kemudian pendidikannya apakah sudah disesuaikan dengan kurikulum yang berjalan atau bantuan jenis lain yang bisa di dapatkan KPM.Â