Mohon tunggu...
Umar Hapsoro
Umar Hapsoro Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bosan jadi pegawai, lantas berwirausaha. Senang baca, dan suka juga nulis, tapi kadang2. ~ "Pengetahuan tidaklah cukup, ..... karenanya kita hrs mengamalkannya. Niat saja tidaklah cukup, untuk itu kita harus melakukannya."

Selanjutnya

Tutup

Politik

Vox Populi "BUKAN" Vox Dei

23 Februari 2010   02:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:47 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ungkapan dari William of Malmesbury pada abad 12, "Vox populi, vox dei" (The voice of the people is the voice of God), yang berarti "Suara Rakyat, Suara Tuhan". Kalau menurut saya seharusnya dibalik. Suara Tuhan "harus jadi" Suara Rakyat, ... atau Suara Rakyat "harus selaras dengan" Suara Tuhan. Salah satu alasannya adalah, apa yang sekarang nyaring terdengar memang itu bukan suara rakyat, tapi sekedar suara"wakil" rakyat, yang komitmennya "tergantung cuaca." Belakangan ini sekelompok orang gemar mengemas kata-kata tersebut sebagai slogan, dengan imbuhan permainan kata yang indah dan patriotik. Padahal bila mau dicermati, dibalik kata-kata itu sebenarnya bermuatan kehendak untuk dapat dipaksakan 'atas nama Tuhan'. Lantas, apakah suara segelintir rakyat ini bisa menjadi Suara Tuhan? Yang harus menjadi wujud dan mendadak dituruti? Bukankah itu sama saja dengan kita meng-adopt hukum rimba yang kemudian diterapkan dikota, "Siapa yang mempunyai kekuatan besar maka dia menang. Bukan siapa yang benar yang akan menang?" Pada literatur lain yang diuraikan secara panjang lebar, namun bila kita simpulkan, disebutkan bahwa munculnya kalimat pendek itu sebenarnya dilatari oleh kedzaliman Raja Louis XIV dari Prancis (1643-1715), yang selalu berkata dengan pongahnya, "L’etat c’est moi", hukum itu adalah saya! Pernyataan ini jelas mengandung makna bahwa dirinya identik dengan Tuhan, atau dapat diartikan bahwa segala sesuatu yang keluar dari dirinya, pastilah mewakili Tuhan. Maka, sebagai reaksi terhadap ekspresi itu, para penentangnya kemudian memunculkan slogan, 'vox populi vox dei'. [caption id="attachment_79730" align="alignleft" width="292" caption="Raban Maur - Alcuin - Otgar of Mainz"][/caption] Dari Wikipedia kita dapat membaca keterangan agak lengkap tentang asal-usul slogan itu, dan bila tidak salah penulis mengartikan, bermakna sebaliknya. Yakni, ketika Flaccus Albinus Alcuinus alias Ealhwine menasehati Charlemagne, berkata "nec audiendi qui solent dicere vox populi vox Dei quum tumultuositas vulgi semper insaniae proxima sit" (Janganlah engkau mendengar orang-orang yang terus menerus berkata: “Suara rakyat adalah suara Tuhan,” karena hiruk-pikuk kerumunan [tekanan] rakyat [orang] banyak). Berbekal kata demokrasi  yang belakangan ini diusung oleh barisan atau kelompok "ini-itu" (maaf, tidak perlu penulis sebutkan), adalah hasil akal budi manusia yang pertama, menurut para ahli bersandar pada asas vox populi vox Dei. Merupakan sebuah bentuk/sistem pengelolaan pemerintahan yang pertama kali dikembangkan di negara kota Athena zaman Pericles di abad kelima dan keempat Sebelum Masehi. Konon munculnya "demokrasi" di dunia Barat (baca: Eropa), gara-gara pemberontakan Perancis. Gaya pemerintahan di Eropa ketika itu, adalah otokrasi (kekuasaan di tangan raja). Rakyat tidak boleh ikut bersuara. Rakyat harus manut alias nurut saja kalau mau aman. Dan para raja disokong oleh dua golongan, yakni kaum ningrat dan kaum penghulu agama (Gereja). Kedua golongan ini menjadi bentengnya raja, alias bentengnya otokrasi. Tetapi lambat laun lahirlah satu golongan baru, yang juga ingin memperoleh kekuasaan di pemerintahan. Golongan baru atau kelas baru ini adalah kaum borjuis. Mereka para pemilik perusahaan, mereka yang menguasai perniagaan, para orang kaya pemilik tanah pertanian dan perkebunan. Yang menyadari bahwa untuk mempertahankan kemakmuran kehidupannya, bertahannya bisnis dan perniagaan mereka, termasuk segala bentuk kepentingannya. Merasa perlu mendapat kekuasaan di pemerintahan. Tetapi kekuasaan masih di tangan raja, yang dibentengi oleh kaum ningrat dan kaum penghulu agama. Maka, bersepakatlah kaum borjuis dengan satu tujuan, "kekuasaan itu harus direbut!, tidak bisa diminta."  Namun, mereka menyadari bahwa mereka belum mempunyai kekuatan itu. Ditemukanlah jalan keluar, dan mereka pun mengatur strategi, "kita harus memakai kekuatan rakyat jelata!" Rakyat jelata yang didanai oleh kaum borjuis lalu diajak bergerak, dirabunkan matanya dengan diberikan kebutuhan bahan pangan, termasuk uang tentunya. Sambil terus-menerus didengungkan oleh kaum borjuis, bahwa pergerakannya itu ialah untuk mendatangkan "kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan," yang kemudian dikenal dengan "Liberte, Fraternite, Egalite." Sebenarnya adalah "semboyan sulapan" pergerakannya kaum borjuis yang memakai tenaga rakyat jelata itu. Jadi, mengapa rakyat menurut?, sehingga mereka rela berkelahi mati-matian? Apakah sebabnya rakyat mau diajak bergerak? Iya, karena nasib mereka di bawah pemerintahan otokrasi sangat sengsara. Namun, tanpa disadarinya, mereka hanya menjadi perkakas kaum borjuis saja. Begitulah nasib rakyat jelata hingga kini. Mereka hanya dipakai ketika dibutuhkan, seperti misalnya pada sa'at pemilu, pilkada, maupun bergerak turun kejalan untuk demo dengan imbalan yang tidak seberapa, namun yang memetik hasilnya tetap kaum borjuis (baca: kini elit politik). Itulah demokrasi dengan semboyan-semboyannya yang hebat-hebat "Vox populi, vox dei," maupun "Liberte, Fraternite, Egalite". Penulis pun tidak terlalu heran atau kagum, ketika Romo Benny Susetyo, dalam bukunya Vox Populi Vox Dei (Averroes Press, Cetakan : I, Januari 2004) mengungkapkan, bahwa saat ini "elit politik penindas" hanya seolah-olah bertuhan, tapi hakikatnya mereka atheis. Mereka tidak mempercayai Tuhan yang mengajarkan kasih dan damai di bumi. Mereka tidak bertuhan karena, "…politik hanya berorientasi jangka pendek. Nilai-nilai kemanusiaan dan kerakyatan hilang dari rohnya. Makna politik dijebloskan pada wilayah hanya untuk kepentingan golongan dan partainya. Kekuasaan dimengerti hanya sebagai alat mempertahankan posisi, legitimasi dan pengeruk kekayaan pribadi, daripada sebagai alat untuk mencipta kesejahteraan." (hlm. 51). Barangkali berangkat dari kegalauan penulis saja, yang melatar-belakangi tulisan yang rada amburadul ini bila dikaji dari kaidah ilmu politik. Harap dimaklumi, lantaran penulis hanya seorang tukang nasi, yang suka usil mencermati beberapa kasus perkara di tanah air ini, yang seringkali di intervensi oleh suara publik, dalam hal ini rakyat. Atau, apakah suara-suara itu memang benar datangnya dari rakyat?, sebagai bagian dari rasa tidak puas atas azas keadilan di tanah air, atau hanya sebuah mobilisasi para oknum yang mengatas-namakan rakyat?. Walaupun mengundang suara pro-kontra, penulis memandang sah-sah saja menggunakan adagium dimaksud diatas, khususnya di gelanggang politik. Namun, kalau boleh penulis bertanya, .... "Bagaimana kalau rakyatnya ingkar kepada Tuhan? Masihkah suaranya adalah suara Tuhan ?" Atau, apakah Tuhan ikut bersalah karena rakyat telah membiarkan SBY menjadi presiden RI untuk yang kedua kali? Dan, apakah Tuhan ikut pula bersama rakyat saat Gus Dur dilengserkan? Apakah Suara Tuhan bisa di rekayasa oleh KPU, sehingga Megawati kalah dalam Pilpres 2009-2014? Silahkan jawab dengan versi masing-masing (bila mau). Dalam Islam sendiri, tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Yang ada adalah sebuah hadis senada yang menyebutkan bahwa "Tidak mungkin ummatku bersepakat pada kesesatan atau kesalahan." (Ibn Majah, Hadis : 3940). Islam adalah agama langit, yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw, melalui Al-Qur’an. Jadi, jelas bahwa vox dei (suara Tuhan) itu BUKAN vox populi (suara umat), dan harus di-imani sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Secara vertikal/teologis, ia bersifat dogmatis, tapi secara horizontal/sosial bersifat lentur, dan terbuka ruang ijtihad bagi para ahli. (Kompasiana-HUH, 21/2/2010) "Kebenaran tanpa di barengi oleh sistem dan strategi yang rapih akan dikalahkan oleh kebatilan yang dilakukan dengan menggunakan strategi yang sistematis." (Ali bin Abi Thalib R.A) Salam, Vox Populi BUKAN Vox Dei

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun