Mohon tunggu...
Umar Farouk Zuhdi
Umar Farouk Zuhdi Mohon Tunggu... -

Refleksi keberagamaan adalah kemuliaan akhlak. Wujudnya adalah rahmat bagi siapa pun. Menulis sekedar berbagi untuk membuat kehidupan ini lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih beradab. Belajar dari matahari dan kesempurnaan penciptanya barangkali dapat membuat hidup lebih memiliki makna..!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Simbiose Politik dan Agama

9 April 2017   13:47 Diperbarui: 9 April 2017   21:30 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengikuti gaduhnya arena perpolitikan di negeri sendiri sungguh menyebalkan dan menyedihkan.  Tidak habis-habisnya kita dipertontonkan dengan para politikus yang berebut kepentingan. Yang paling baru adalah proses pergantian Ketua DPD DPR RI yang diwarnai baku hantam dan caci maki.

Beberapa tahun silam kita juga menyaksikan  dagelan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI ketika menggelar sidang kasus etik Papa Minta Saham-nya Setya Novanto yang bikin muak. Demikian memuakkannya sidang dagelan MKD saat itu  sampai-sampai Pak Jokowi perlu menyindir dengan mengundang para pelawak ke istana negara. Gus Dur dulu pernah mencemooh parlemen sebagai masih  Taman Kanak-Kanak.  Gus Dur dengan gaya Jawa Timurannya langsung menohok ke pusat rasa malunya  para wakil rakyat. Jadilah mereka malu dan sekaligus marah. Jokowi berbeda.  Orang Jawa Tengah asal Solo ini menohok dengan bahasa simbolik. Tidak verbal tapi non verbal. Jokowi ketawa ngakak di kerumunan para pelawak menyaingi gaduhnya sidang MKD yang juga sedang melawak dan ditertawakan para pemirsa TV yang pintar-pintar.

Korupsi E KTP yang merampok uang rakyat 2,3 trilyun rupiah yang hari-hari ini sedang di-blow up di media masa  juga sebuah reality show. Kita sedang melihat kebohongan publik yang tanpa malu dipertontonkan para politikus Senayan.  Para anggota Komisi Dua dan Banggar DPR kompak membantah tudingan KPK. Bukan hanya mencari alibi, mereka juga menggunakan jurus intimidasi. Pada saatnya bila diperlukan mereka dapat juga bekerja sama dengan kelompok-kelompok keagamaan  yang radikal agar isunya bergeser. Tidak soal korupsi lagi tapi soal agama dan politik.

Jika kerjasama ini terjadi maka kemungkinan para koruptor bisa selamat dari jeratan hukum. Para politikus tentu pandai menciptakan jurus sakti. Misal, dengan menebar isu ada kelompok komunis di pemerintahan yang sedang menyudutkan kelompok muslim. Bisa juga dengan menebar hoax ada kelompok pengusaha Cina (Sembilan Naga)  yang sedang bersekongkol dengan pihak istana untuk menyudutkan orang muslim, dan sebagainya.  Dan ini hebatnya, nanti para koruptor itu segera akrab dengan para habib dan para ustad. Sering muncul di arena pengajian, di masjid-masjid  dan seterusnya. Tentu juga membuat press conference seperlunya dengan media massa. Intinya tiupkan isu SARA. Setelah itu demo ramai-ramai.  Anggota-anggota parlemen dari parpol-parpol (Islam) tertentu pasti akan membuat pernyataan-pernyataan politik bahwa Ketua KPK harus segera diganti atau pernyataan-pernyataan lain yang senada. Saya kira model pengerahan masa seperti yang terjadi pada kasus Ahok sekarang akan menjadi raw model untuk melakukan political pressurekepada kelompok yang berseberangan yang anti korupsi. Jika pemerintah tidak tegas menegakkan law enforcement  maka ke depan premanisme politik dan agama akan terus berlangsung.

Simbiose politik dan agama di negeri ini sudah sampai pada taraf yang membahayakan. Keduanya dapat memiliki muara yang sama, yakni meraih kekuasaan untuk menggapai keuntungan materi baik untuk pribadi maupun kelompok. Oleh sebab itu mereka dapat bekerjasama untuk alasan yang sama. Jika dianalisa lebih cermat sepak terjang mereka dalam dinamika politik Indonesia sesungguhnya tidak sepenuhnya membangun kesejahteraan rakyat. Rakyat sering hanya dijadikan alat politik dan bahkan objek politik. Itulah sebabnya korupsi susah diberantas.  Masih beruntung kita masih memiliki ulama-ulama Nahdlatul Ulama (NU)  yang arif melihat masalah kebangsaan. Para ulama NU masih dapat membedakan mana orang beragama yang benar dan orang beragama yang keblinger.  Mana politikus yang amanah dan mana yang khianat.  Dengan demikian, mereka senantiasa berada pada jalan lurus untuk menjadikan NKRI sebagai rumah kebangsaan. Model keberagamaan warga Nahdliyyin memang meneladani Rasulullah saw ketika membangun negara megapolisMadinah Al Munawwaroh (Madinah yang bertabur cahaya). Sebagaimana Rasulullah, agama dijadikan wadah untuk menumbuhkan dan menebarkan rahmat kepada umat manusia. Bukan tempat untuk menyemaikan kebencian, permusuhan, pengkhianatan demi mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Politik yang diisi dengan nilai-nilai keberagamaan yang hakiki akan melahirkan bangsa yang hidupnya penuh dengan kedamaian dan kesejahteraan. Simbiose politik dan agama pada masa Rasul berhasil meningkatkan taraf hidup manusia pada puncak kemuliaan. Malangnya, simbiose politik dan agama pada saat ini melahirkan keonaran, anarki dan masalah-masalah kebangsaan yang entah kapan dapat terselesaikan.

Sekian dulu ya... Matahari mulai meredup. Langit mendung. Burung-burung emprit di ranting-ranting pohon mangga di belakang rumah mulai riuh suaranya. Saya ambil kamera digital kecil untuk mengabadikan gambarnya. Oh ya kopinya juga sudah tidak panas lagi. Pangepunten....Sugeng sonten...Tabik!

Umar Farouk Zuhdi

Kaki Gunung Ungaran

7 April 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun