Perkembangan teknologi kian meningkat sehingga mempengaruhi konteks sosial masyarakat. Baik itu dalam dalam hal yang positif mau pun dalam hal negatif. Besarnya arus informasi yang tak mampu terbendung menjadi konsumsi publik untuk bisa di akses atau pun memberi akses terhadap informasi kepada orang lain melalui media sosial.
Keterbukaan arus Informasi yang kian pesat membuat tatanan masyarakat bergeser dalam melaksanakan aktifitas sosial nya. Yang mulanya secara langsung berganti melalui media sosial, perkembangan masyarakat kian cepat mengharuskan  negara membuat regulasi yang dapat mengakomodir kepentingan- kepentingan yang akan berbenturan antara Individu - individu dengan individu lainnya.
lahirnya undang- undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)  (e-commerce) akhirnya menjadi payung hukum dunia virtual (cyberspace) yang sering disebut sebagai cyber law Indonesia. Namun tanpak beda dalam implementasi yang menyasar masyarakat yang menyuarakan pendapat atau kritik terhadapat  Pemerintah.  Hadirnya undang- undang No. 11 Tahun 2008 tentang  Transaksi Elektronik (ITE) ini justru menjelma sesuatu yang dapat merusak prinsip negara  demokrasi yang senantiasa.
Demokrasi yang senantiasa menjunjung tinggi prinsip kebebasan dengan memberikan kontrol dari warga negara terhadap pemerintah. Baik itu berupa kritik mau tindakan yang sesuai dengan hukum. Kritik merupakan nyawa di negara di demokrasi agar terciptanya  kontol  yang senantiasa memposisikan warga negara sebagai raja di dalam negara tersebut.
Hukum yang diharapkan  mampu memberikan Instrumen  fasilitas untuk mengikat penguasa  agar tidak melakukan tindakan penyelagunaan kewenangan yang di berikan oleh oleh melalui konstitusi. Justru menjadi terbalik mengikat warga negara yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah dengan bungkusan Hukum sebagai alat yang dijadikan acuan bagi pemerintah untuk menghukum warga negaranya.
Hal ini disebabkan karena pembuatan hukum yang dibuat cendrung hanya berisi kepentingan penguasa semata .Mengutip pendapat oleh Money Selznik yang membagi  hukum dengan dua model. Yang mana pertama yang disebut dengan hukum represif dan kedua hukum Otonom. Sedangkan hukum Represif lebih kepada pelayanan terhadap penguasa yang menafikan aspirasi publik. Adapun cirinya pertama  kekuasaan politik mengatasi  institusi hukum sehingga kekuasaan negara menjadi legitimasi hukum. Kedua penyelenggaraan hukum  dijalankan menurut Perspektif penguasa semat.ketiga Pengaturan- peraturan bersifat diskriminatif bersifat keras dan mengikat rakyatnya Lunak terhadap penguasa Dan  kritik dipahami pembangkangan.
Hukum yang menjadi alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan tanpa adanya kritik, sekilas memang menganjurkan untuk dikritik oleh masyarakat nya namun ternyata menggunakan alat perlengkapan negaranya menjerat mereka yang memberikan. Rakyat semakin takut untuk menyampaikan pendapat nya karena negara sangat agresif dalam menumbang  rakyat yang berbeda
Kran kebebasan dalam negara demokrasi Tak hanya menjamin kebebasan memberikan kritik. Tapi negara seharusnya memberikan perlindungan terhadap mereka dalam menyampaikan kritik nya. Keberadaan hukum terbilang menjadi menjadi semangat bagi warga negara untuk mengikat penguasa agar tak sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaan yang di berikan oleh rakyat.
Jika memang perlunya adanya pembatasan dalam hal memberikan kritik terhadap masyarakat maka perlunya kajian yang secara matang agar nantinya tak menimbulkan problem bahkan sangat berpotensi melanggar hak konstitusional warga yang di jamin secara konstitusional dalam konstitusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H