Kasemen adalah kawasan Banten Lama yang dikenal, tapi barangkali tak banyak dari kita yang benar-benar pernah memperhatikan kawasan kumuhnya. Jika melihat sejarahnya, ketika Banten masih berupa Kerajaan Islam di masa lampau, kawasan Kasemen pernah menjadi ibu kota, namun ini hanya pencapaian masa lalu.
Jika kita melihat kawasan Kasemen saat ini, dengan banyaknya kawasan kumuh termasuk kawasan kumuh di belakang Keraton Kaibon yang kami kunjungi, kemegahan di masa lalunya adalah hal yang seperti ilusi.
Siang itu hujan telah reda. Di kecamatan kasemen tepatnya di belakang Keraton Kaibon, rumah satu dengan yang lainnya terlihat mirip yang mayoritas bertembokkan kayu dan hanya beberapa rumah yang bertembokkan berbahan lain seperti semen maupun plafon pun tidak luput dari hujan sebelumnya.
Selain itu mereka memilik kesamaan lainnya adalah stiker "keluarga Pra Sejahtera" yang nyaris dapat ditemukan di tembok-tembok penghuni pemukiman di kawasan mantan ibu kota kuno banten tersebut.
Hal ini senada dengan Tjuk Kuswartojo yang dikutip dari Adon mengatakan, pemukiman kumuh, yaitu pemukiman yang padat, kualitas kontruksi rendah, prasarana dan pelayanan pemukiman minim yang merupakan akibat dari kemiskinan.
Tidak ada orang yang dapat menghindari kematian, begitupun dengan konflik. Tidak ada satu jenis masyarakatpun yang tidak pernah mengalami konflik baik konflik diantara para anggotanya maupun konflik dengan masyarakat lain selain itu konflik juga hanya akan hilang dengan menghilangnya masyarakat itu sendiri tidak terkecuali masyarakat kawasan belakang keraton kaibon.
Warga yang kami temui pertama adalah Bapak Rozimin yang bekerja sehari-hari sebagai buruh. Menurutnya, bentuk konflik yang biasa terjadi adalah konflik antartetangga, "ya biasalah konfliknya antar tetangga, cuman ngga sering" melanjuti hal tersebut Rozimin juga menyatakan dalam konflik antar tetangga tersebut biasanya penyelesaiannya dilakukan secara pribadi antar tetangga yang berkonflik."
Warga kedua yang kami temui adalah Bapak Tb Al Imron seorang nelayan yang sedang menikmati keadaan sore sembari mengepulkan asap rokoknya menuturkan bahwa sejak ia lahir di kawasan masyarakat daerah ini masyarakatnya jarang berkonflik dan jika berkonflik mereka selesaikan secara kekeluargaan apalagi hingga menyebabkan pihak RT maupun RW turun tangan menangani konflik tersebut.
"Sejak saya lahir disini, kalo konflik begitu paling-paling ya antar tetangga saja itu juga jarang-jarang apalagi sampai melibatkan pihak RT atau RW jarang banget lah itu karena kita kalo sudah konflik seperti itu diselesaikan secara kekeluargaan saja."
Warga ketiga yang kami temui adalah Bu armanah seorang pedagang yang sudah cukup lama tinggal dan berdagang disitu. Menurutnya, senada dengan bapak Rozimin dan bapak Imron, bu Armanah juga menemukan konflik yang biasa terjadi adalah konflik antar tetangga dan penyelesaiannya adalah secara kekeluargaan namun ia menegaskan bahwa konflik antar tetangga adalah hal yang jarang ditemuinnya.
"Kalo mengenai konflik, selama saya di sini palingan antar tetangga hal tersebut pun jarang, lalu untuk penyelesaiannya kita juga diselesaikan baik-baik secara kekeluargaan." Dan pertemuan kita harus akhiri saat itu dikarenakan hujan mulai turun membasahi kami yang mengendarai sepeda motor.