Aku sangat ingat sekali. Kakek yang sering duduk di kursi kayu jati di teras rumah, rumah dengan dinding tebal dan bergaya lama.Â
Satu toples tembakau Kakek gulung dengan tangan keriputnya yang terlihat bekas perjuangan menjadi kuli bangunan di saat muda dulu.Â
Kakek lalu mengisap rokok gulungan sembari  memandang jauh ke depan. Bau asap yang mengepul dari dapur menyengat menyeruak menusuk hidung.Â
Kakek hidup tidak sendiri, Kakek hidup bersama seorang anaknya yang sudah mempunyai anak satu. Kehidupan Kakek sangat sederhana dengan rumah tua yang atapnya bocor dimana-mana saat musim hujan tiba. Rumah besar dengan tembok tebal khas rumah jaman dulu.Â
Kakek menerawang ke depan, melihat di antara pepohonan di pelataran rumah. Pohon-pohon kelapa yang hijau, pohon mangga yang menjulang tinggi tetapi tak pernah berbuah, dan kandang kambing yang berisi tiga kambing peliharaan milik Nenek.Â
Kambing itu semakin banyak sekarang, dulu aku ingat kandang itu hanya berisi satu kambing. Sekarang kandang itu ramai sudah terisi 6 ekor kambing, dan 3 di antaranya masih kecil-kecil karena baru dilahirkan.
Mata Kakek akhir-akhir ini selalu menerawang jauh, menerawang jauh ke dalam kekosongan. Aku tahu akhir-akhir ini Kakek lebih banyak diam dan duduk di rumah.Â
Ia tidak lagi pergi ke sawah seerti biasanya, berbincang-bincang dengan yang seusianya. Kakek hanya duduk diam sambil menggenggam rokok hasil gulungannya dari tembakau asli pilihannya sendiri, tembakau dari Temanggung.
Kemarin-kemarin Kakek selalu bertengkar dengan Nenek. Tidak tahu waktu, mau pagi, siang, sore, bahkan malam. Perdebatan Kakek dan Nenek mengenai masalah sepele menjadi keseharian dan pelengkap harian.
Rokok gulungan atau kata Kakek lintingan itu, sekarang menjadi teman setia Kakek. Kakek tidak lagi berdebat dengan Nenek, Kakek lebih memilih diam. Diam Kakek menjadi sesuatu yang baru akhir-akhir ini, mata Kakek menyorotkan kekalahan.