Mohon tunggu...
Uma F. Utami
Uma F. Utami Mohon Tunggu... Lainnya - Wirausaha

Hidup di ujung timur Indonesia, suka jalan-jalan ke alam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kekalahan Kakek

14 Desember 2022   13:34 Diperbarui: 17 Desember 2022   00:30 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi foto Kakek. (sumber: pixabay.com/Sabine van Erp)

Aku sangat ingat sekali. Kakek yang sering duduk di kursi kayu jati di teras rumah, rumah dengan dinding tebal dan bergaya lama. 

Satu toples tembakau Kakek gulung dengan tangan keriputnya yang terlihat bekas perjuangan menjadi kuli bangunan di saat muda dulu. 

Kakek lalu mengisap rokok gulungan sembari  memandang jauh ke depan. Bau asap yang mengepul dari dapur menyengat menyeruak menusuk hidung. 

Kakek hidup tidak sendiri, Kakek hidup bersama seorang anaknya yang sudah mempunyai anak satu. Kehidupan Kakek sangat sederhana dengan rumah tua yang atapnya bocor dimana-mana saat musim hujan tiba. Rumah besar dengan tembok tebal khas rumah jaman dulu. 

Kakek menerawang ke depan, melihat di antara pepohonan di pelataran rumah. Pohon-pohon kelapa yang hijau, pohon mangga yang menjulang tinggi tetapi tak pernah berbuah, dan kandang kambing yang berisi tiga kambing peliharaan milik Nenek

Kambing itu semakin banyak sekarang, dulu aku ingat kandang itu hanya berisi satu kambing. Sekarang kandang itu ramai sudah terisi 6 ekor kambing, dan 3 di antaranya masih kecil-kecil karena baru dilahirkan.

Mata Kakek akhir-akhir ini selalu menerawang jauh, menerawang jauh ke dalam kekosongan. Aku tahu akhir-akhir ini Kakek lebih banyak diam dan duduk di rumah. 

Ia tidak lagi pergi ke sawah seerti biasanya, berbincang-bincang dengan yang seusianya. Kakek hanya duduk diam sambil menggenggam rokok hasil gulungannya dari tembakau asli pilihannya sendiri, tembakau dari Temanggung.

Kemarin-kemarin Kakek selalu bertengkar dengan Nenek. Tidak tahu waktu, mau pagi, siang, sore, bahkan malam. Perdebatan Kakek dan Nenek mengenai masalah sepele menjadi keseharian dan pelengkap harian.

Rokok gulungan atau kata Kakek lintingan itu, sekarang menjadi teman setia Kakek. Kakek tidak lagi berdebat dengan Nenek, Kakek lebih memilih diam. Diam Kakek menjadi sesuatu yang baru akhir-akhir ini, mata Kakek menyorotkan kekalahan.

Kakek melambaikan tangan ke arahku yang sedang bermain-main dengan anak kambing berwarna coklat tua. 

“Iya Kek?” aku duduk di samping Kakek, di sebuah kursi tua. Kursi tua yang selalu menemani Kakek sepanjang jalan hidupnya.

“Kakek udah tua ya?” tanya Kakek yang kemudian mengisap rokoknya dan sedetik kemudian menghembuskannya.

Aku hanya duduk diam dan tidak tahu harus menjawab apa. Memang Kakek sudah tua, apalagi akhir-akhir ini Kakek terlihat sangat tua berbeda dari sebelumnya. 

Sebelumnya aku juga sering datang dan Kakek selalu pergi ke sawah dan pulang memberi makan kambing-kambing kesayanganya. 

“Kakek akhir-akhir ini seperti pengecut ya? Diam dan luntang lantung saja,” kata Kakek.

“Ha,” sungguh aku tak tahu harus berbicara apa.

“ Kambing itu besok dijual saja kalau Kakek meninggal,”

Kakek bercerita bahwa ia sudah seperti pecundang, ia dipecundangi oleh Nenek. Nenek tidak lagi marah-marah, Nenek diam seribu bahasa membuat Kakek tak berdaya. Kursi tua ini berderit ketika Kakek menginjakkan kaki tuanya ke arah kamarnya. 

Lantai tanah ini tidak ingin Kakek ubah menjadi lantai ubin yang licin, Kakek lebih suka tanah. Telapak kakinya tak beralas menyentuh tanah, mengingatkan semua yang hidup akan kembali ke tanah.

Kakek memandangi kamar Nenek yang tertutup kelambu hijau kemudian menuju ke kamarnya sendiri. Sudah lama Nenek dan Kakek pisah tempat tidur, sudah lama sejak pertama kali mereka berdebat.

Kata orang wajar-wajar saja sesama orang tua berdebat, watak orang tua akan terlihat menonjol. Seperti kekanak-kanakan mereka akan mempertahankan apa yang menurutnya benar. 

Seperti waktu itu, masalah pintu saja bisa membuat perdebatan hebat antara Nenek dan Kakek. Kakek yang selalu terburu-buru ke sawah selalu lupa menutup pintu, sedangkan Nenek selalu memarahi Kakek. 

Nenek bisa saja langsung menutupnya setelah tahu Kakek lupa, beres sudah masalahnya. Nenek dan Kakek memiliki cara tersendiri, begitulah orang tua.

Rokok lintingan Kakek tidak habis ia isap, masih tersisa banyak. Kakek sepertinya sedang tidak bernafsu untuk merokok, dan lebih memilih tidur. Kembali aku bermain-main dengan kambing Kakek yang masih kecil, berlarian ke sana ke mari mengganggu kambing itu.

Sebenarnya aku tahu benar penyebab Kakek seperti itu, ya kepergian Nenek yang baru beberapa minggu yang lalu. Beberapa minggu lebih baik daripada beberapa hari setelah kepergian Nenek. 

Sehari setelah kepergian Nenek, Kakek lebih banyak tidur. Kakek hanya keluar untuk waktu-waktu tertentu saja misalnya untuk buang air atau mandi. Bibi anak pertama Kakek juga bercerita bahwa Kakek sulit sekali makan. 

Aku juga tahu hubungan Kakek dengan Nenek memang tidak harmonis, walaupun begitu setidakharmonisnya hubungan mereka tetap saja mereka saling suka bahkan dapat mempertahankan rumah tangganya sampai tua. 

Setelah hari kematian itu kursi di teras menjadi sahabat setia Kakek, sahabat setia Kakek diwaktu melamun. 

Melamun untuk membunuh kesepian yang Kakek rasakan, membunuh semua kenangan yang mengganggu pikiran. Kain batik Nenek yang dijemur di pelataran menjadi pemandangan sehari-hari yang asyik bagi Kakek. 

Burung-burung perkutut Kakek yang berada di kurungan juga diam setelah kematian Nenek. Burung itu sepertinya juga tahu apa yang dipikirkan oleh pemiliknya. Rumah tua ini menjadi semakin suram, sunyi, dan senyap. Seperti kuburan Nenek, sunyi tetapi damai.

Akhir pekan ini berakhir dan aku harus kembali ke rumahku. Seminggu kemudian ponselku berbunyi menandakan sebuah pesan singkat masuk.

“Kakek meninggal.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun