Kakek melambaikan tangan ke arahku yang sedang bermain-main dengan anak kambing berwarna coklat tua.
“Iya Kek?” aku duduk di samping Kakek, di sebuah kursi tua. Kursi tua yang selalu menemani Kakek sepanjang jalan hidupnya.
“Kakek udah tua ya?” tanya Kakek yang kemudian mengisap rokoknya dan sedetik kemudian menghembuskannya.
Aku hanya duduk diam dan tidak tahu harus menjawab apa. Memang Kakek sudah tua, apalagi akhir-akhir ini Kakek terlihat sangat tua berbeda dari sebelumnya.
Sebelumnya aku juga sering datang dan Kakek selalu pergi ke sawah dan pulang memberi makan kambing-kambing kesayanganya.
“Kakek akhir-akhir ini seperti pengecut ya? Diam dan luntang lantung saja,” kata Kakek.
“Ha,” sungguh aku tak tahu harus berbicara apa.
“ Kambing itu besok dijual saja kalau Kakek meninggal,”
Kakek bercerita bahwa ia sudah seperti pecundang, ia dipecundangi oleh Nenek. Nenek tidak lagi marah-marah, Nenek diam seribu bahasa membuat Kakek tak berdaya. Kursi tua ini berderit ketika Kakek menginjakkan kaki tuanya ke arah kamarnya.
Lantai tanah ini tidak ingin Kakek ubah menjadi lantai ubin yang licin, Kakek lebih suka tanah. Telapak kakinya tak beralas menyentuh tanah, mengingatkan semua yang hidup akan kembali ke tanah.
Kakek memandangi kamar Nenek yang tertutup kelambu hijau kemudian menuju ke kamarnya sendiri. Sudah lama Nenek dan Kakek pisah tempat tidur, sudah lama sejak pertama kali mereka berdebat.