Padahal saya itu hanya mau bertanya,
"Pak, otak bapak di dengkul, apa di kepala?", jelas ini pertanyaan retorik, mana ada otak di dengkul, semua otak ada dalam kepala, lalu tidak semua keledai dungu itu pelan harus diterima sebagai pernyataan yang sah, karena bila keledai dungu berarti pemilik keledai lebih dungu dari keledai itu sendiri, lalu demikianlah otak saya terus berputar dan berputar dan berputar, berotasi, berotasi, berotasi pada pusaran "axis" yang perlahan bergeser, sedikit demi sedikit, detik demi detik, lalu menit, jam, hari, bulan, tahun....lalu.....
Terbangun, saat sekumpulan pemikir ulung mulai berkata bahwa sebenarnya satu tambah satu itu bisa jadi hasilnya tiga, seperti bebek mengaum, lutung berkotek, ayam menguik, babi berkokok dan macan mengembik,
"mbeeeeekkkk...mbeeeekkkk....mbeeeeeeekkkkk....."
"Jadi sebenarnya maksud dan tujuanmu itu apa?" tanya sahabatku.
Melayangkan-pandang pada indahnya Gunung Agung, langit berganti warna, awan membentuk lukisan, semesta bergerak dan terus bergerak, merekam, memutar ulang, memaparkan bukti, satu kedelai ditambah satu kedelai menghasilkan dua kedelai, tanam, tumbuh, sabar dan menghasilkan banyak, dalam ketekunan dan pengharapan.
Perlahan saya menjawab,
"Saat kedelai itu mulai bertumbuh banyak, keledai yang katanya dungu itu akan mengangkutnya ke pasar, akan tiba waktunya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H