Mohon tunggu...
irawan boma
irawan boma Mohon Tunggu... lainnya -

pengamat kehidupan, praktisi revitalisasi untuk sustainability (lingkungan) hidup, saya sungai, saya suka hujan, mendung, guntur, namun paling suka cahaya yang menyembul dari balik awan tebal.

Selanjutnya

Tutup

Money

Rayuan Pulau Kelapa

18 Februari 2010   15:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:51 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

"Tanah airku Indonesia...negeri elok amat kucinta...Tanah tumpah darahku yang mulia yang kupuja sepanjang masa...” demikian sepenggal lirik Rayuan Pulau Kelapa, airmataku tak terbendung saat mulai mendengarnya, fenomena tersendiri bagiku, tak tersadar dan tak terpikir, kecintaanku akan negeriku ternyata terpatri dengan sebegitu rupa.

Kesukaanku adalah berada di hamparan sawah yang luas, ditengah hutan yang lebat, atau di sebuah perkebunan teh yang luas di dataran tinggi, langit biru dan berbagai bentuk gumpalan awan berpadu dengan hijaunya pepohonan dan tumbuhan, permadani hijau yang bergerak indah diterpa angin, bau semerbaknya membangkitkan gairah dan sensasi tersendiri, ini kesukaanku.

Masih tak mengerti bagaimana sebuah lagu Rayuan Pulau Kelapa itu mampu membuatku terisak bagai kehilangan kekasih, atau rindu yang sangat, perlahan aku susuri perasaanku, memilah ini dan itu, sampailah aku pada sebuah kekecewaan yang sangat, negeri yang kucinta ini, tumpah darahku, tanah airku, telah berubah rupa sedemikian rupa, lama tak terpikir, lama tak terbesit, lama terlupakan, sebuah negeri agraris, dimana seluruh rakyatnya tak harus menderita kelaparan. Sejak saat itu aku mulai memberanikan diri untuk bermimpi, negeriku, dimana aku berpijak, perlahan akan kembali menjadi negeri agraris, dimana rakyatnya tak lagi harus menderita kelaparan.

Semasa remaja, aku pernah membaca sebuah buku tentang “Cyber Kinetic”, buku yang menarik, mengenai daya tarik menarik yang kita ciptakan melalui pikiran kita, buku itu menghantarkanku pada buku-buku lain yang sejenis, pikiran dan ucapan kita, percaya atau tidak akan menciptakan sebuah gelombang yang memancar pada alam semesta, mengakibatkan sebuah daya tarik menarik, sehingga suatu saat akan menghantarkan kita pada mereka yang memiliki gelombang dan frekwensi yang sama, pertemuanku dengan seorang peneliti Probiotik Organik, sama sekali bukan suatu kebetulan, memang sejak lama aku tak lagi mempercayai istilah – kebetulan.

Kenalan baruku ini, bukan kenalan baruku, pertemuan demi pertemuan, percakapan demi percakapan, bak sahabat yang telah kenal begitu lama namun terpisah begitu lama pula.

[caption id="attachment_76927" align="alignleft" width="178" caption="Foto"][/caption]

Awalnya kita bicara tentang sebuah perkampungan terpadu, “Sustainable Village” atau “Sustainable Living Compound” dimana penghuninya mengerjakan lahannya sendiri, hidup dari setiap sayuran yang ia tanam, sawah yang ia usahakan, ternak yang ia gembalakan, ikan yang ia pelihara.

Detil demi detil kita bahas, lalu kita sadar, bahwa apa yang kita bicarakan ini bukan suatu hal yang baru, kita bicara tentang kembalinya kesadaran kita akan sebuah pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan yang semula jadi, tanpa rekayasa genetik, tanpa semua bahan kimia yang akhirnya memang nyata merusak habitat lingkungan hidup secara keseluruhan.

Dengan penemuan kembali Formula Probiotik Organik yang sahabat saya dapatkan dari sebuah doanya pada Yang Kuasa, mimpi saya tentang kembalinya sebuah negeri agraris tidak lagi hanya menjadi mimpi di siang hari bolong, semangat saya menyala-nyala, penelitian demi penelitian mulai kita lakukan bersama, tanah yang rusak mulai ter-revitalisasi, kandungan brachybacterium yang terdapat dalam salah satu Formula Probiotik Organik itu nyata, seluruh unsur polutan dalam tanah terlahap habis, suatu mesin pengurai jitu dan tepat guna.

Kita melihat tanaman cabai yang tak mengenal musim, tomat yang sekal, padat dan berasa sungguh segar, terong, sawi, markisa, mangga dan lainnya, satu demi satu kita coba teliti, tanam, dan panen.

Kesedihan dan rasa ketidakmampuan saya untuk berbuat sesuatu ketika melihat lahan persawahan yang tanahnya kering dan retak, yang tanahnya bantat seperti karet bahkan membatu, mendapat secerca cahaya harapan.

Kami tahu bahwa tak mudah untuk meyakinkan para petani kita yang masih bertahan meski hasil tak lagi maksimal bahkan menurun drastis, tak mudah bagi mereka untuk beralih kembali seperti masa lalu, jelas lahan persawahan mereka yang memang telah mengandung residu bahan kimia yang terlalu sarat, akibat perlakuan anorganik selama bertahun-tahun perlu direvitalisasi sebelum kembali ditanami, ini yang tak mudah, mau makan apa mereka selama tanahnya direvitalisasi? Kami juga tak cukup modal untuk membiayai mereka secara keseluruhan, namun kami tak menyerah, kami mulai pada para petani-petani sahabat kami yang memang memiliki hati dan gelombang frekwensi pemikiran yang sama terlebih dahulu, berharap bahwa mereka dapat menjadi pionir dan contoh nyata bagi para petani lain. Memang bertani secara alamiah, kembali pada jaman bagaimana seharusnya bertani, bukan santapan mayoritas petani kita lagi.

Kami seperti mendapat sebuah pedang pusaka, bukan pedang baru, tapi sebuah pedang lama untuk memerangi seluruh penghancuran sistematis yang telah terjadi demi sebuah pencapaian sesaat, sebuah harapan dimana anak-anak kita kembali mempunyai pilihan, terutama mereka yang tinggal dipedesaan, kota dengan segala hingar bingarnya, dengan segala kesemuannya, bisa tak lagi menjadi tujuan, bangun kembali pertanian, bangun kembali perkebunan, bangun kembali peternakan, bangun kembali negeriku.

Gelombang kesadaran akan perlunya asupan makanan yang tak mengandung bahan kimia melanda dunia, sebuah gaya hidup yang kebanyakan dibilang “baru”, adalah sebuah pangsa pasar yang sangat menjanjikan, perlahan kebanyakan dari kita mulai sadar bahwa percepatan rekayasa kimiawi pada akhirnya membawa kita pada kehancuran kita sendiri sebagai umat manusia.

Mulai kita ingin makan sayur yang daunnya berlubang-lubang, menandakan bahwa pestisida tak lagi dominan disana, mulai kita beralih pada beras berwarna atau beras putih yang tak lagi kilap berkilau.

[caption id="attachment_76932" align="alignright" width="300" caption="Foto"][/caption]

Perlahan dengan segala keterbatasan modal kami mulai bergerak, mulai berbicara kesana kemari mengenai pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan yang berkesinambungan, suatu kali sebuah Batalyon Infanteri Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berlokasi tak jauh dari kami dengan semangat dan rela ingin mencoba belajar, gayung bersambut, kamipun saat itu ingin mempraktekan perikanan ala Probiotik Organik, memangkas ketergantungan pakan ikan anorganik, dan menaikkan derajat ikan lele, ikan yang sungguh merakyat. Alhasil, kemaslahatan tercapai, meski tak semua prajurit dibawah batalyon tersebut terlibat, namun pencapaian nyata sungguh dirasa oleh mereka yang mempraktekannya.

[caption id="attachment_76933" align="alignleft" width="228" caption="Foto"][/caption]

Kami juga berkesempatan untuk bicara di beberapa tempat di Propinsi Riau, berkenaan dengan menurunnya hasil produksi kelapa sawit disana, ditambah dengan perusakan dahsyat lahan-lahan akibat perlakuan anorganik sebelumnya, pada kesempatan itu, kami pun menyisipkan tentang bahaya ancaman Pemanasan Global, menyatakan bahwa ancaman tersebut bukan ancaman belaka, namun sebuah ancaman nyata, ancaman yang diakibatkan oleh ulah kita sendiri, masih, masih ada kesempatan bagi kita untuk menahan lajunya perusakan itu.

Ya secerca harapan itu nyata, ya – ada cahaya diujung terowongan itu, ada solusi pemerataan sosial, ada solusi penahan laju urbanisasi, ada solusi mengembalikan negeri kita menjadi negeri agraris yang jaya, ada solusi untuk meningkatkan martabat kita sebagai bangsa, Bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun