Mohon tunggu...
irawan boma
irawan boma Mohon Tunggu... lainnya -

pengamat kehidupan, praktisi revitalisasi untuk sustainability (lingkungan) hidup, saya sungai, saya suka hujan, mendung, guntur, namun paling suka cahaya yang menyembul dari balik awan tebal.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Saat Hutan Beton Berlalu

21 Mei 2010   10:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:04 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita ini mesti konsisten, kalau kita berharap kaya karena hal yang kita lakukan ini, itu sudah motivasi yang salah." Ujar Pak Han. Saya bersetuju dengannya, "Ini masalah hati, memang kita sedang bergerak terbalik, jalan yang kita lalui ini jelas jalan yang sepi, kita ini bukan sedang mengikuti tren, atau sedang tergila-gila organik, tapi mari kita berpikir, dunia yang sedang kita jalani ini sedang menuju kesudahannya, saya tidak sedang bicara soal kiamat, tapi kita bicara soal kenyataan, sumber daya alam terus menerus menurun, satu sisi teknologi maju, tapi alam mengalami kemunduran yang luar biasa, kalau kita mendapat kemudahan bisa berlangganan TV berlangganan, maka kita juga sudah melihat beberapa serial ilmu pengetahuan tentang kesudahan bumi kita yang berteknologi ini,nah...kita bukan anti teknologi, hanya saja, kalau semua ini akhirnya berlalu, tidak ada lagi teknologi, kemana kita akan pergi, bagaimana kita akan survive, bila tidak kembali ke alam, lalu kalau semua mengeksploitasi alam tanpa perduli untuk berbuat sesuatu (setidaknya) demi mempertahankannya, mau kemana anak-anak keturunan kita nanti, OK, mungkin ini terlalu bermuluk-muluk, sebut saja begini, kantong kita sudah mulai menipis untuk bisa beli gas elpiji yang makin lama makin mahal, kita sudah lelah beli makanan, coba...kita beli, bukan minta, kita memilah-memilih, tapi pilihan makin terbatas, kebanyakan berpengawet atau kalau tidak mengandung unsur-unsur yang bisa memicu sel kanker dan berbagai macam bakteri dan toksin yang kini sudah demikian hebatnya bermutasi, menciptakan penyakit yang inilah, yang itulah. Jadi ya jelas, ini konsistensi, ini masalah hati, ini masalah, perbaikan kualitas hidup, kesehatan, perut dan kantong, kaya, kalau kita bisa kaya gara-gara ini, itu ajaib, tapi jelas, motivasinya bukan untuk kaya, tapi kembali lagi, kaya itu relatif." "Kita ini bangun prototype, namanya sustainable living compound, kalau dibilang pertanian terpadu sebenarnya tidak cocok juga, karena selain sawah, ada kebun yang kita tanami, tomat, sawi,terong, cabe, jagung dan lainnya, selain itu ada juga peternakan, ada ayam, bebek. Ada juga perikanan, jadi yang paling tepat ya itu tadi, sustainable living compound." Kata Pak Gunawan menegaskan apa yang sebenarnya sedang kita buat disini. Tidak berat yang kita buat disini, karena pada dasarnya kita melakukan dengan senang hati, dan kita sungguh menjiwai apa yang kita buat ini, hanya saja, tantangan demi tantangan selalu datang menggugah, tidak masalah, disinilah peran kebersamaan, saling menguatkan, mengingatkan, visi dan misi kita untuk revitalisasi, kita hidup di alam ini, alam ini perlu dilestarikan, anak-anak kita perlu alam ini, bukan sekedar kehidupan hutan beton dan atau dunia maya. "Ayo, coba kita tuangkan kembali, kita mau jadikan apa tempat ini?" tanya saya. "Sebenarnya kalau mau bicara garis besar, kita ini sedang mengembalikan tatanan, tatanan itu soal ekosistem, budaya, budaya dalam hal perkampungan asal, kita mengembalikan kemurnian air dan tanah, tata krama dalam bermasyarakat, berinteraksi antara masyarakat dan alam, bicara soal budaya, ini bukan melulu soal seni, budaya men-fungsikan kembali alam dengan bijak dan sebagaimana mestinya, menormalisasi mata rantai kehidupan, ketika orang datang mengunjungi tempat prototype ini, maka mereka akan melihat mata rantai kehidupan yang berkesinambungan, ada kehidupan seni disini, ada pertanian terpadu, ada peternakan, perikanan, ada tata krama interaksi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan binatang peliharaan, manusia dengan Penciptanya..." terdiam sejenak, Pak Handoyo melanjutkan kembali, "...sebenarnya yang masih perlu dilakukan disini, bagaimana melarang orang-orang itu supaya tidak menembaki burung seenaknya. Kembali soal tatanan, tatanan yang terintegrasi, kita ini di Indonesia-kan sebenarnya negara agraris, semua unsur agraris ini sebenarnya-kan nilai luhur suatu bangsa, negara agraris dan semua yang mengikutinya, budaya, seni, ya...tata krama itu tadi." "Entah kenapa, kita seolah lupa, penjajahan yang 350 tahun itu kan asal muasalnya karena rempah-rempah kita yang luar biasa hebatnya, bumi pertiwi ini begitu suburnya, sehingga rempah yang tumbuh diatasnya berada pada kualitas super, sehingga menggiurkan bagi para penjajah-penjajah itu." saya menimpali. "Sikap..., ini tentang sikap, The Way, budaya yang kita lakukan disini ini kan bukan budaya baru, karena sedari dulunya, nenek moyang kita ini kan sudah punya cara yang sudah jelas tentang bagaimana berinteraksi dengan alam, maksudnya berinteraksi dengan bijak, budaya..., budaya itu perilaku, budaya instan itu sedemikian rupa telah merusak tatanan alam, tanah khususnya, petani sudah mulai frustasi, belum bencana, hama serangga, kekeringan, fenomena alam, harga pupuk yang terus naik, turun ngga pernah, turun dari truk jelas, dan kenyataan bahwa para akademisi tidak lagi turun ke masyarakat dan ataupun bila turun kebanyakan dari mereka tergulung kembali pada budaya instan, moral yang telah terkontaminasi dengan uang, uang dan uang..." kata Pak Gunawan berapi-api. Lalu kita semua terdiam, memandang guludan-guludan tanah, sawah, kolam ikan, yang semuanya sedang kita persiapkan untuk prototype sustainable living compound, keringat, biaya dan terutama hati kita, semua kita pertaruhkan untuk ini, setidaknya anak-anak kita nanti, bisa hidup dari sawi, beras, tomat, ayam, ikan yang kita kelola dengan hati disini, tapi itu harapan, anak-anak kita pun punya kehidupan mereka sendiri, kita hanya menyediakan pilihan, saat hutan beton berlalu, ini adalah jawaban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun