Langit hari itu sangat cerah, dengan awan-awan putih yang bergerombol di birunya langit dan bertiupnya angin di udara seakan menambah kesan nyaman bagi seorang gadis yang sedang duduk di sofa ruang tengah itu. Raut wajahnya sangat fokus yang ditandai dengan guratan samar di dahinya. Di tangannya terdapat buku bersampul biru dengan bergambar biota laut. Ia menghela nafas dan tak lama kemudian ia merengut, sepertinya dia sedang kesal.
Gadis bernama Karlina itu baru saja selesai membaca sebuah novel karya Leila S. Chudori yang berjudul Laut Bercerita. Novel yang menceritakan aksi para aktivis mahasiswa yang dianiaya. Setelah membaca novel tersebut ia menjadi paham bahwa pemerintahan dulu sangatlah sensitif, sukar diberi nasihat juga sangat egois.
Karlina mengubah posisi duduknya di sofa, lalu ia mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Aplikasi pertama yang ia buka adalah X. Ahhh sepertinya ada berita baru, ia menekan icon berbentuk seperti lup (kaca pembesar), terdapat kata kemenkeu di trending paling atas. Tidak dapat menahan rasa penasarannya, sehingga ia langsung menekan kata tersebut. Karlina mendesah, lagi-lagi korupsi. Entah harus berapa lama lagi agar Indonesia bebas dari kata korupsi. Sepertinya tidak afdal bagi para pejabat jika tidak terjerat kata korupsi. Keadaan ini mengingatkannya pada lagu yang dibuat oleh seorang musisi terkenal Indonesia, Iwan Fals dengan lagu legendarisnya yaitu tikus-tikus kantor.
Karlina mendesah, lalu tersadar. Ahh kenapa juga ia memikirkan ini, sudah seperti politikus saja. Seharusnya ia berpikir bagaimana cara menyelesaikan tugas dari dosen tadi pagi, bukannya memikirkan isu-isu politik. Jangan-jangan gara-gara matkul kewarganegaraan dan pancasila tadi membuat ia memikirkan masalah negeri lagi.
Tapi sejujurnya Karlina penasaran, apa yang akan terjadi pada Indonesia dalam lima atau sepuluh tahun kedepan? Apakah korupsi masih ada? Ataukah sudah bersih dalam artian bebas dari korupsi? Atau justru tambah merajalela? Pikiran-pikiran seperti ini masih saja terus menganggunya, pernah terpikirkan olehnya setelah ia lulus kuliah ia akan pergi ke luar negeri. Hidup nyaman di negeri tetangga.
Karlina menyudahi pikiran-pikiran absurdnya, ia berjalan ke depan terasnya. Duduk di samping kolam ikan yang dibuat oleh sang Ayah. Dia menoleh ke kanan. Terdapat pos ronda di samping depan rumahnya. Terdapat sekitar lima orang laki-laki di sana. Sepertinya sedang main kartu atau entahlah, Karlina tidak dapat melihatnya.
Lima orang laki-laki itu adalah tetangganya, tidak tau apa pekerjaannya tapi setiap malam mereka akan berkumpul di pos ronda untuk main kartu atau minum kopi sambil berbincang. Dua orang diantara mereka masih berusia 17 tahun satu diantaranya seusianya dan sisanya mungkin di awal 20-an. Salah satu yang berusia 17 tahun itu sudah tidak bersekolah alias putus sekolah, kata Bunda dia menghamili pacarnya yang satu sekolah dengannya. Satunya sering bolos sekolah karena Bunda sering melihatnya di angkringan mas Jono. Dan sisanya entahlah, Karlina tidak tahu apakah mereka bekerja atau tidak. Tapi yang pasti mereka selalu berada di pos ronda tersebut.
Karlina masuk lagi ke dalam rumahnya, ia melewati ruang tengah dan berhenti di ruang keluarga. Terlihat Ayahnya sedang menonton televisi dengan sebatang rokok yang menyala, tangannya berada di atas meja dengan segelas kopi hitam di sampingnya.
“Berita tersebut menutup jumpa kita pada sore hari ini, saya Roselina Arwana pamit undur diri.” Karlina menatap sang ayah yang masih menonton walau acara berita tersebut sudah berganti menjadi kartun animasi.
“Dek, tadi ada berita pembunuhan di Jogja. Katanya itu ulah klitih,” Ujar Ayah yang sekarang mematikan rokoknya dan meletakkannya di asbak.
“Katanya anggota klitih itu masih pada remaja-remaja, bahkan ada yang belum punya KTP. Ayah gak nyangka aja, anak-anak sekarang kok pergaulannya gitu. Gak tau faktor apa tapi tindakan tersebut tidak boleh ditoleransi, para polisi harus bertindak tegas pada kasus seperti ini,” sambungnya.