Mohon tunggu...
Uly Abdul Jalil
Uly Abdul Jalil Mohon Tunggu... Lainnya - Umma Maryam

Seorang ibu rumah tangga lulusan Magister Ilmu Komunikasi. Menulis catatan perjalanan hidup dalam perspektif seorang istri dan ibu. Follow ig @ulyjalil untuk interaksi lebih asyik! 🍉

Selanjutnya

Tutup

Diary

Toleransi Dalam Pernikahan

18 Desember 2021   14:24 Diperbarui: 18 Desember 2021   14:31 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku kesal tiap hari harus menasihat suami perihal rokok. Sudah jelas anaknya sakit perkara rokok, masih tidak mau berhenti. Ingin rasanya aku menceraikan suami ku".

Pernah? Berada dalam posisi tersebut, atau sekedar mendengar keluh kesah seorang teman tentang pasangan perokoknya?

Kalau sudah seperti itu, biasanya aku akan bertanya apakah ia sudah tau suaminya perokok dari awal, atau suaminya merokok setelah pernikahan terjadi.

Kalau jawabannya yang kedua, aku akan maklum.

Namun, untuk jawaban pertama, aku akan sedikit keheranan. Kalau memang ia sudah tau calonnya perokok, dan sudah tau tidak akan mampu melewati itu, mengapa masih lanjut?

Aku pribadi meyakini bahwa dalam pernikahan, ada yang namanya batas toleransi. 

Banyak perbadaan antara laki laki dan perempuan. Betul.
Banyak perdebatan antara suami dan istri. Benar.
Adanya perbedaan, akan menjadi ajang saling belajar dan media untuk tumbuh bersama. Sangat setuju.
Tapi, itu jika bukan hal hal yang menyangkut soal prinsip.

Banyak yang berfikir bahwa pasangan akan berubah seiring dengan pernikahan. Tapi aku sendiri belajar bahwa mengharapkan pasangan berubah itu egois; pada titik tertentu..

Kalau yang ingin kita rubah adalah menghilangkan kebiasaan buruk yang tidak menyangkut prinsip, maka ini artinya kita sedang menamani proses seseorang.
Namun, jika yang ingin kita rubah menyangkut prinsip dan melewati batas toleransi, maka sama saja seperti mengikuti turnamen tiada akhir.

Salah satu batas toleransi aku dalam nemilih pasangan adalah yang tidak merokok. Itu artinya, dari awal "hunting" aku langsung memangkas laki laki yang perokok.

Sayangnya, banyak orang yang juga nemilih rokok dalam batas toleransi, tapi tetap melanjutkan hubungan dengan perokok dalam harapan bisa merubahnya.

Dalam konteks ini, pilihan tersebut bisa menjadi ajang untuk bertumbuh, atau justru menjadi pilihan egois sebagai ajang gelud dan berakhir di persidangan.

Bedanya dimana?
Kalau kita nemilih dengan kesadaran penuh, memahami konsekuensi pilihan, dan sudah ada kesepakatan bersama: maka ini akan menjadi sebuah proses yang luar biasa: mengubah seorang perokok menjadi lebih sehat.

Namun kalau kita memilih secara "asal", selalu denial " dia baik kok, nanti bisa berubah" padahal secara nyata rokok termasuk hal principle, maka ini pilihan egois.

Egois untuk diri sendiri, egois untuk masa depan, egois untuk anak, dan egois untuk pasangan.

Kok?
Karena setiap hari kita hanya fokus untuk merubah pasangan agar sesuai dengan prinsip dan batas toleransi kita, tanpa mau mengetahui kepayahan dari pasangan.

Hal ini berlalu untuk semua konteks yang menjadi batas toleransi masing masing pasangan.

Kalau rokok bukan hal principle, laniutkan.

Kalau menikahi perempuan yang belum menjulurkan jilbab bukan hal principle, lanjutkan. Temani prosesnya dan bukan meninggalkan dengan dalih "ga sesuai prinsip aku". Lah kalau udah tau dari awal ga sesuai kenapa masih tetap memilih? *Nah loh..

Dalam hubungan pernikahan, aku mempelajari 1 hal: menemani proses berubahnya seseorang itu akan sangat menyenangkan, selama bukan menyangkut soal prinsip dan tidak melanggar batas toleransi.

Kalau merubah pasangan soal prinsip, apalagi yang melewati batas toleransi, percayalah lebih banyak gelud daripada belajar dan bertumbuh.

Jadi, apa batas toleransi kalian dalam pernikahan?

Semoga Allah mudahkan kita dalam mengarungi rumah tangga.
Ibadah terlama dan sepanjang hidup.
Semoga kita dimampukan untuk menurunkan ego, dan tidak berakhir di meja hijau.


Yuk, bijak nemilih pasangan. Pahami batas toleransi diri sendiri, agar kita mampu menerima pasangan kita, utuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun