Dalam konteks ini, pilihan tersebut bisa menjadi ajang untuk bertumbuh, atau justru menjadi pilihan egois sebagai ajang gelud dan berakhir di persidangan.
Bedanya dimana?
Kalau kita nemilih dengan kesadaran penuh, memahami konsekuensi pilihan, dan sudah ada kesepakatan bersama: maka ini akan menjadi sebuah proses yang luar biasa: mengubah seorang perokok menjadi lebih sehat.
Namun kalau kita memilih secara "asal", selalu denial " dia baik kok, nanti bisa berubah" padahal secara nyata rokok termasuk hal principle, maka ini pilihan egois.
Egois untuk diri sendiri, egois untuk masa depan, egois untuk anak, dan egois untuk pasangan.
Kok?
Karena setiap hari kita hanya fokus untuk merubah pasangan agar sesuai dengan prinsip dan batas toleransi kita, tanpa mau mengetahui kepayahan dari pasangan.
Hal ini berlalu untuk semua konteks yang menjadi batas toleransi masing masing pasangan.
Kalau rokok bukan hal principle, laniutkan.
Kalau menikahi perempuan yang belum menjulurkan jilbab bukan hal principle, lanjutkan. Temani prosesnya dan bukan meninggalkan dengan dalih "ga sesuai prinsip aku". Lah kalau udah tau dari awal ga sesuai kenapa masih tetap memilih? *Nah loh..
Dalam hubungan pernikahan, aku mempelajari 1 hal: menemani proses berubahnya seseorang itu akan sangat menyenangkan, selama bukan menyangkut soal prinsip dan tidak melanggar batas toleransi.
Kalau merubah pasangan soal prinsip, apalagi yang melewati batas toleransi, percayalah lebih banyak gelud daripada belajar dan bertumbuh.
Jadi, apa batas toleransi kalian dalam pernikahan?