Gen Z Nyantri di Instagram, TikTok, Reels Facebook, dan YouTube Shorts: Tradisi Pesantren dalam Era Digital
Generasi Z, generasi yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, adalah kelompok yang dikenal sebagai 'digital natives'. Mereka tumbuh dengan akses mudah ke teknologi dan internet, menguasai media sosial dengan cara yang unik dan kreatif. Di tengah hiruk-pikuk perkembangan teknologi dan gaya hidup digital ini, bagaimana santri dari generasi Z menyeimbangkan tradisi pesantren dengan dunia media sosial? Apakah tradisi "nyantri" masih relevan di Instagram, TikTok, Reels Facebook, dan YouTube Shorts?
Nyantri: Dari Pesantren ke Platform Digital
Konsep "nyantri" yang secara tradisional merujuk pada proses belajar di pesantren---tempat para santri menimba ilmu agama, akhlak, dan nilai-nilai kehidupan---telah mengalami transformasi. Di era digital ini, nyantri tidak lagi terbatas pada ruang fisik pesantren. Banyak santri dari generasi Z yang menjadikan platform digital sebagai ruang baru untuk belajar dan berbagi. Dengan menggunakan media sosial seperti Instagram, TikTok, Facebook Reels, dan YouTube Shorts, mereka menciptakan konten-konten edukatif yang menghubungkan nilai-nilai pesantren dengan audiens yang lebih luas.
Instagram, misalnya, memungkinkan santri berbagi kutipan ayat-ayat Al-Quran, hadits, serta pelajaran-pelajaran dari kitab kuning melalui infografis atau video singkat. TikTok, yang populer di kalangan generasi muda, digunakan untuk membuat konten kreatif seperti tantangan hafalan Al-Quran, tutorial ibadah, atau bahkan diskusi ringan tentang etika Islam dalam kehidupan modern. Dengan gaya yang santai namun tetap berisi, konten-konten ini mampu menarik perhatian audiens yang lebih luas, termasuk mereka yang mungkin belum akrab dengan tradisi pesantren.
Mendigitalisasi Pesantren
Generasi Z, yang sebagian besar santrinya menghabiskan waktu di dunia digital, telah beradaptasi dengan baik dalam menyebarkan pesan-pesan keislaman melalui media sosial. Mereka tidak hanya menjadi konsumen konten, tetapi juga produsen aktif yang menggunakan platform digital untuk menyebarkan nilai-nilai agama. YouTube Shorts dan TikTok, misalnya, menjadi alat bagi santri untuk mengajarkan pelajaran singkat tentang adab, doa harian, atau kisah-kisah inspiratif dari Nabi dan para sahabat.
Facebook Reels dan YouTube Shorts memungkinkan video-video pendek dengan durasi maksimal 60 detik, format yang sangat sesuai dengan gaya hidup cepat generasi ini. Melalui video pendek, santri dapat menyampaikan pesan moral atau ajaran agama dalam bentuk yang ringkas, padat, namun tetap relevan. Hal ini juga memperluas akses masyarakat terhadap ilmu pesantren yang mungkin sebelumnya sulit diakses oleh mereka yang tidak pernah bersentuhan langsung dengan lingkungan pesantren.
Tantangan dan Peluang
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa menggunakan media sosial sebagai sarana nyantri juga membawa tantangan tersendiri. Salah satunya adalah bagaimana menjaga kualitas konten agar tetap sesuai dengan ajaran agama, tanpa menghilangkan esensi dari nilai-nilai keislaman. Terkadang, dalam usaha untuk membuat konten yang *viral*, ada risiko terjadinya penyederhanaan yang berlebihan atau bahkan penyimpangan dari ajaran aslinya.
Oleh karena itu, penting bagi santri dari Generasi Z untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip keilmuan yang ketat ketika menggunakan media sosial. Mereka harus tetap kritis terhadap konten yang mereka buat dan konsumsi, serta memahami bahwa meskipun media sosial dapat menjadi alat yang kuat untuk dakwah, kualitas dan integritas pesan tetap harus dijaga.
Di sisi lain, peluang untuk mendigitalisasi tradisi pesantren sangatlah besar. Media sosial memberikan akses kepada audiens yang jauh lebih luas dan beragam. Santri yang mahir dalam menggunakan platform digital dapat menjadi penggerak perubahan dalam cara masyarakat memandang pesantren dan santri itu sendiri. Mereka mampu mematahkan stereotip kuno tentang santri sebagai kelompok yang terisolasi atau ketinggalan zaman. Justru sebaliknya, mereka menunjukkan bahwa santri dapat beradaptasi dengan teknologi modern tanpa kehilangan identitas dan nilai-nilai keislaman.
Memperluas Dakwah di Dunia Digital
Dengan menggunakan platform seperti Instagram, TikTok, Facebook Reels, dan YouTube Shorts, santri dari Generasi Z tidak hanya melanjutkan tradisi "nyantri," tetapi juga memperluas cakrawala dakwah mereka. Mereka mampu membawa pesan-pesan keislaman ke audiens yang lebih luas, termasuk di kalangan non-santri. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada penguatan identitas santri di era digital, tetapi juga pada cara agama dan tradisi dipresentasikan di ruang publik.
Santri Generasi Z telah membuktikan bahwa mereka dapat menggunakan media sosial untuk tujuan yang lebih dari sekadar hiburan. Mereka mampu memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan ilmu dan nilai-nilai yang mereka pelajari di pesantren, sekaligus menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas.
Kesimpulan
Generasi Z telah mengubah wajah nyantri dengan cara yang tidak terbayangkan sebelumnya. Dengan kehadiran mereka di Instagram, TikTok, Reels Facebook, dan YouTube Shorts, tradisi pesantren kini dapat diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Ini bukan hanya tentang mengikuti tren, tetapi juga tentang menyebarkan nilai-nilai positif dan menjadikan dakwah lebih inklusif. Santri Generasi Z menunjukkan bahwa di era digital, nyantri tidak lagi terbatas pada ruang fisik, melainkan merambah ke dunia maya yang tak terbatas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H