Mohon tunggu...
Ulviatur Rahmah
Ulviatur Rahmah Mohon Tunggu... Lainnya - Ulviatur Rahmah Mahasiswi FISIP/Ilmu Politik Unsyiah

Ulviatur Rahmah Mahasiswi FISIP/Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK Dikebiri, Negara Harus Bagaimana?

4 Juni 2020   14:07 Diperbarui: 4 Juni 2020   14:04 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan Negara yang berlandaskan pada asas kepancasilaan. Memperoleh kemerdekaan, bersatu, berdaulat adil dan makmur guna mencapai kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan  pada kemerdekaan , perdamaian abadi dan keadilan sosial merupakan  cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Untuk mencapai cita-cita tersebut, maka dibentuklah Lembaga pemerintah yang terdiri dari Lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Pembentukan Lembaga pemerintah tentu menjadi harapan bangsa Indonesia agar mampu menegakkan keadilan serta memperoleh kemajuan dalam segala aspek dan bidang. Namun, tidak bisa dipungkiri jika kata " Pemerintah " tidak pernah luput dari istilah penyelewengan-penyelewengan guna mencapai kepentingan pribadi seperti korupsi.

Dari sudut pandang perpolitikan, Korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan, administrasi, ekonomi dan politik baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain guna memperoleh keuntungan pribadi sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan atau pribadi lainnya.

Korupsi yang dilakukan oleh oknum pemerintah tentu menjadi problematika besar yang harus dilewati bangsa Indonesia untuk mencapai kemajuan dan keadilan bersama. Sehingga pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dijadikan harapan dan tonggak utama dalam memberantas korupsi serta mengenyah para koruptor dari Indonesia.

KPK merupakan suatu Lembaga yang bergerak secara independen dan tidak terkait dengan lembaga kekuasaan mana pun, Sehingga KPK memiliki kebebasan dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dibuktikan dengan catatan keberhasilan Lembaga KPK dalam memberantas dan memenjarakan tikus-tikus berdasi yang memegang jabatan di Indonesia. Tercatat pasca reformasi tahun 1998 sampai akhir 2018, KPK telah diakui sebagai estafet pemberantasan korupsi Indonesia.

Berdasarkan data rekapitulasi yang tercantum di portal Anti Corruption Clearing House (ACCH), keberhasilan KPK dalam menangani kasus tindak pidana korupsi dibuktikan dengan berlangsungnya penyelidikan sebesar 1.135 perkara, penyidikan 887 perkara, penuntutan 719 perkara, inkracht 578 perkara dan eksekusi 610 perkara.

Hal tersebut tentu membuat KPK berhasil menyelamatkan uang negara hingga triliunan rupiah besarnya. Namun bukannya apresiasi yang didapat atas keberhasilannya, kinerja KPK terus dilemahkan bahkan dimutilasi secara terus menerus.

Terhitung sejak tahun 2010, keberhasilan KPK dilemahkan dengan lahirnya mekanisme atau proses legislasi yang dilakukan dengan cara merevisi Undang - Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tak berhenti di situ saja, upaya melemahkan KPK terus dilakukan oleh para penguasa guna memboikot wewenang KPK dalam memberantas korupsi dengan dalih menguatkan keputusan dan kebijakan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan revisi terhadap peraturan perundang - undangan.

Anggota DPR terlihat sangat kompak, bahu-membahu dalam mengadakan rapat paripurna dengan tujuan memutilasi KPK. Mulai dari KPK yang tidak lagi bekerja secara independen dalam melakukan penyelidikan yang mana aparatur Negara seperti polisi dan kejaksaan juga ikut andil dalam proses penyelidikan terhadap benih-benih koruptor, kedudukan, wewenang serta penyidikan yang dibatasi, dan lain-lain.

Dengan dicetusnya revisi perundang-undangan KPK, masih layakkah Dewan Perwakilan Rakyat disebut sebagai slah satu pilar trias politika yang mementingkan aspirasi serta kebutuhan publik, atau justru lebih layak disebut sebagai trias "koruptika" yang hanya memperkaya diri sendiri?

Karena faktanya, revisi undang - undang tersebut bukannya menguatkan KPK tetapi malah mengebiri kewenangan KPK dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya kajian publik bersifat objektif terhadap RUU KPK, ditemukan banyak poin-poin kebijakan yang melemahkan KPK mulai dari substansi maupun proses perundangannya. Tercatat sekitar 26 Pasal yang mengandung permasalahan fundamental sehingga mengundang kontra di kalangan masyarakat.

Berlakunya substansi serta politik hukum yang bersifat tersirat secara jelas  mematahkan kekuatan dan ruang gerak KPK.
Penetapan keputusan yang dilakukan secara tertutup, minimnya partisipasi publik serta hanya sebagian kecil anggota dewan yang menghadiri rapat paripurna tersebut dianggap absah dan memiliki kecacatan telak baik secara perumusan maupun etik sehingga terus menimbulkan kontra dan menggemparkan publik.

Seolah bersifat "bodo amat"  dengan respon publik, Hasil dari Revisi Undang - Undang KPK selanjutnya diberikan ke Presiden untuk memperoleh legalitas melalui penandatanganan surat presiden (Surpres) mengenai Revisi UU No. 30 Tahun 2002 dan telah ditandatangani pula oleh kepala negara yaitu presiden Jokowi Dodo pada Rabu, 11 September 2019.

Keputusan presiden untuk menandatangani revisi tersebut semakin menimbulkan perdebatan dan keresahan di masyarakat. Sehingga menyebabkan kaum akademisi seperti mahasiswa menggelar aksi turun ke jalan untuk mengembalikan keadilan dengan menuntut presiden untuk menggunakan wewenang  prerogatifnya agar menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang - Undang (PERPPU) untuk mengembalikan kewenangan KPK.

Presiden dianggap telah berpihak pada ketidakbenaran dengan menandatangani keputusan Revisi Undang-Undang yang dikhawatirkan akan membuat koruptor merajalela dan leluasa dalam menghabiskan anggaran Negara.

Apabila bercermin dari Negara maju seperti Singapura, Tingkat jumlah koruptor dan tindakan korupsi sangat rendah. Hal ini dibuktikan dengan semakin menurunnya tingkat persentase kasus korupsi di Singapura. Di Singapura, penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara maupun pihak swasta ditangani oleh Lembaga Corrupt Practices Invertigation Bureau's (CPIB). Lembaga CPIB merupakan Lembaga pemberantas korupsi yang bersifat independen.

Pada tahun 1959, Wewenang CPIB diperkuat dengan lahirnya peraturan antikorupsi The Prevention Of Corruption Act yang membuat CPIB memiliki wewenang tambahan dalam melakukan investigasi serta penetapan hukuman lebih bagi koruptor. Kemudian tahun 1999, kedudukan CPIB diperkuat kembali dengan memberikan wewenang dan kebebasan penuh bagi CPIB untuk menyita aset serta menambah denda atau hukuman bagi tersangka koruptor.

Tak hanya memberikan wewenang pada CPIB, Pemerintah Singapura juga mengeluarkan aturan yang mengakibatkan para penjarah uang Negara atau koruptor dikenai hukuman penjara, denda bahkan eksekusi mati.

Hal tersebut tentu berbanding terbalik dengan Indonesia. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK), Indonesia menyandang peringkat dengan kasus korupsi ke 89 dari seluruh Negara di Dunia. Tingkatan korupsi yang besar serta revisi terhadap UU NO. 30 Tahun 2002 yang justru melemahkan KPK semakin meresahkan masyarakat. Lalu apa yang bisa dilakukan Negara untuk memberantas dan menyelesaikan kasus korupsi di Indonesia?

Korupsi merupakan permasalahan besar yang harus diselesaikan secara bersama-sama oleh semua elemen termasuk masyarakat, pemerintah, aparatur negara maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keputusan pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU KPK selayaknya harus dipertimbangkan kembali yang mana kita tahu bahwa dalam UU No.30 tahun 2002 telah mencantumkan wewenang kepada KPK sehingga bisa memberantas korupsi dengan leluasa. Selain itu dalam hal ini, Pemerintah seharusnya bisa meninjau kembali UU lama KPK yang membahas mengenai kebebasan KPK yang belum sempat diimplementasikan.

Berdasarkan peraturan UU No. 30 tahun 2002, Lembaga Pemberantas Korupsi (KPK) seharusnya diberikan wewenang agar bersifat Disentralization dan Regulation yaitu merupakan pemberian wewenang untuk membuka cabang serta mengendalikan setiap dan mengawasi setiap pemerintah Wilayah atau Daerah. Karena seperti yang diketahui, Selama ini wewenang KPK hanya berpusat di Ibu Kota sehingga membuat kinerja KPK dalam mengawasi dan memberantas tindak korupsi di seluruh wilayah Indonesia tidak efektif.

Dengan demikian, pelimpahan wewenang kepada KPK secara Disentralization dan Regulation tentu dapat dijadikan solusi serta alternatif dalam memberantas tindak pelaku korupsi yang mana di setiap Daerah terdapat cabang dari KPK yang bisa mengawasi langsung kinerja pemerintah secara menyeluruh dan terfokus.

Dengan menggunakan sistem Disentralization dan Regulation terhadap Lembaga KPK, maka mengakhiri kasus korupsi tidak hanya menjadi angan-angan bagi masyarakat Indonesia. Adanya supremasi hukum serta keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat akan terpenuhi secara merata. Sejatinya, Tidak ada perbedaan dimata hukum, karena Indonesia bukan milik mayoritas atau minoritas tertentu. Indonesia adalah kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun