Judul: Baby Blues
Sutradara: Andibachtiar Yusuf
Tanggal Rilis: 24 Maret 2022
Durasi: 100 menit
Negara: Indonesia
Pemeran: Vino G. Bastian, Aurelie Moeremans
Memiliki pasangan yang setia dan perhatian pasti menjadi impian setiap orang. Apalagi jika hubungan bukan hanya stag di status pacaran alias diseret ke jenjang pernikahan. Namun tentu ada kebahagiaan yang ingin diinginkan lagi ketika impian-impian tersebut sudah kesampaian -ya... Namanya juga manusia- seperti keinginan memiliki momongan. Â Pun ketika sudah memiliki momongan akan terus bermunculan impian-impian lain, yang lebih tinggi lagi. Akan terus seperti itu sampai manusia hanya menginginkan mati.
Tapi bukan itu.
Film ini bukan berisi tentang itu. Tentang ambisi. Tentang ingin meraih mimpi. Tapi betul juga, film ini mengisahkan secuil impian yang teraih yang tidak seperti yang diimpikan. Sangat mudah ditebak pada judulnya, Baby Blues, jika kita searching juga kita bakal tahu baby blues itu makanan atau sesuatu yang semacam apa. Tapi kamu nggak bisa menyimpulkan isi film ini hanya dari makna baby bluesnya aja sih. Karena setiap kisah kehidupan bukan hanya sebuah definisi-definisi yang mudah dimengerti. Sekarang ngerti kan?
Memang ketika film ini kelar ditonton, muncul sebuah kesimpulan di benakku. Siapakah yang paling berat menanggung beban dalam sebuah keluarga, istri atau suami? Ya, memang hanya sebuah pertanyaan. Dan pembahasannya mengular sampai 1 jam 10 menit. Padahal, di dalam film menggunakan latar waktu yang bukan hanya  1 jam 10 menit itu. Tapi beberapa hari, bahkan bulan. Sama seperti kehidupan kita yang bahkan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menjawab sebuah pertanyaan, tentang kehidupan.
Jadi, Siapakah yang paling berat menanggung beban dalam sebuah keluarga, istri atau suami? Menurut saya jawabannya bisa jadi suami, bisa jadi istri, bisa jadi sama berat, atau bisa juga gak ada yang merasa keberatan.
Karena dalam film tersebut mengangkat masalah pertukaran jiwa. Jiwa suami yang dengan gender laki-laki, dengan personality santai, dan agak pemalas ditukar dengan jiwa istrinya dengan gender perempuan, personality tegas, dan penuh perhitungan. Dari sini, apakah ketika jiwa istri ada pada tubuh suami maka tubuh suami kita sebut istri? Bukankah identitas sarat dengan hal materialis, yang kasat mata. Sehingga sekalipun jiwa istri ada pada tubuh suami dan jiwa suami ada pada tubuh istri, tetap saja yang disebut istri itu yang secara kasat mata berjenis kelamin perempuan bukan? Dan sebaliknya.
Sedangkan beratnya tanggungan beban dirasakan oleh jiwa -bukan tubuh- buktinya ketika manusia sudah jengah dengan pekerjaan keseharian, yang stress bukan kepalanya, tapi pikirannya. Kalo kamu nonton film ini sendiri, bakal keliatan lebih jelas bedanya jiwa dan raga manusia. Mana yang masuk pekerjaan jiwa dan mana yang masuk pekerjaan raga. Pekerjaan jiwa selalu berisi tentang berpikir, merasakan, pengetahuan, dan kenangan-kenangan. Sedangkan pekerjaan raga sudah kita pelajari dari SD mengenai sistem organ tubuh manusia. Hmm
Well, lalu apa hubungan jiwa dan raga? Tentu ada hubungannya. Kita dapat tugas apa, hak dan kewajiban yang bagaimana itu karena raga kita ada. Dan jiwa hanya merespon dari pekerjaan raga. Apakah kita mau overthinking atau baper. Jadi, bayangkan saja jika jiwa kita tiba-tiba tertukar dengan jiwa pak presiden misalnya. Secara hukum kita presiden, tapi secara tak kasat mata kita hanya rakyat jelata. Dan apa konsekuensinya? Tentu kita yang secara hukum dianggap presiden akan gelagapan saat harus melaksanakan tugas-tugas yang gak sinkron dengan pengetahuan-pengetahuan yang kita punya.
Sama kayak film ini. Ketika suami harus menjadi istri dan istri harus menjadi suami, mereka akan kesusahan menyesuaikan diri. Kenapa? Karena selamanya kita tidak akan pernah bisa menjadi orang lain. Sekalipun dia adalah orang yang rasa-rasanya kita sudah paham luar-dalam tentangnya.
Cocok banget dengan awal mula kenapa jiwa mereka tertukar. Awalnya si istri nyeletuk jika saja suaminya jadi dia, pasti suami gak akan betah. Sama, si suami juga bilang gitu karena mereka lagi bertengkar, merasa masing-masing memikul beban paling berat. Dan alhasil petir menyambar. Listrik mati. Tiba-tiba jiwa mereka tertukar.
Setelah jiwa mereka kembali ke semula, mereka sadar kalau beban mereka sama-sama berat. Bahkan suami ternyata tidak becus melaksanakan tugas sebagaimana mestinya seorang istri. Istri juga tidak becus melaksanakan tugas sebagaimana mestinya suami. Hikmah dari kejadian pertukaran jiwa itu, mereka dapat hidup lebih bahagia dan lebih ngerti satu sama lain.
Tapi itu kisah mereka ya. Kalau kisah kita, apa pernah kita merasa menjadi orang paling susah sedunia? Yang punya kisah paling dramatis sedunia? Yang paling tersakiti?
Jangan lagi ya.
Karena itu hanya ilusi kita sesaat. Hanya ketidaksadaran kita bahwa setiap manusia hidup dengan jiwa raganya masing-masing.
Tidak semua apa yang kita lihat secara kasat mata itu benar 100%. Setiap orang pasti memiliki rahasia hidupnya masing-masing, jadi lebih baik kita hargai kehidupannya yang sama hebatnya seperti hidup kita dengan tidak membanding-bandingkan (ini namanya pengertian yak).
Lalu, apa ada orang yang tidak merasa berat menjalani tanggung  jawab di hidupnya? Menurutku jawabannya ada.
Yaitu mereka yang selalu bersyukur dan menerima kenyataan yang disuguhkan Yang Maha Esa.
Maaf dan terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H