Pernah merasa menyesal atas keputusan yang telah diambil?
Menyesal dan tidak mau lagi mengingat-ingat kejadiannya atau orang-orang yang terlibat di sana, pernah?
Penyesalan adalah efek wajar dari sebuah pengambilan keputusan. Saking wajarnya sampai kita merasa tidak perlu pusing-pusing memikirkan sebuah proses pengambilan keputusan.
Sel-sel pembentuk diri kita yang tak mampu kita lihat dengan kasat mata, setiap saat mereka selalu mengambil keputusan dengan kita sadari atau pun tidak. Dan kita pun sejatinya hidup dengan serangkaian pengambilan keputusan.
Salah satu prinsip penting dalam pengambilan keputusan, seperti yang sudah saya tulis sebelumnya di sini >> http://edukasi.kompasiana.com/2014/09/06/prinsip-pengambilan-keputusan-685958.html << adalah Prinsip Kejelasan (Clear).
Apa maknanya?
Bila kita analogikan dengan kaca depan mobil, Clear dalam pengambilan keputusan dapat kita pandang sebagai kondisi dimana kaca depan mobil kita bersih. Sehingga karenanya kita merasa nyaman. Bila kaca depan mobil kita ada dalam keadaan bersih, keputusan yang diambil saat mengendarai mobil pun kemungkinan besar akan lebih tepat dibanding saat kondisi kaca masih kotor, penuh debu, dan lain sebagainya. Bahkan, suara bising di luar mobil yang biasanya menggangu pun menjadi tak begitu berarti bila kaca mobil kita bersih, nyaman, kinclong.
Namun, tidak hanya kaca depan mobil saja yang perlu kita jaga kebersihannya bukan? Kaca spion juga perlu untuk bersih agar kita bisa menjaga keamanan diri dan penumpang dengan sesekali melihat ke belakang. Kondisi mata kita sendiri pun perlu untuk bersih dan sehat agar tidak terjadi kelalaian selama mengemudi.
Begitu pula dalam pengambilan keputusan. Apapun keputusan yang akan kita pilih, konsep “Clear” setidaknya akan terpaut pada 3 orientasi waktu; masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Pertama, Kejelasan di masa lalu. Ini berkaitan dengan emosi. Sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk yang mengkonsumsi emosi, kita pasti telah memiliki tumpukan emosi-emosi, baik positif maupun negatif selama bertahun-tahun dari apa yang kita alami sehari-hari. Jernih atau tidaknya perasaan atas apa yang sedang dirasakan akan sangat mempengaruhi pola pengambilan keputusan.
Bila perasaannya baik, keputusannya pun akan baik.
Bila perasaannya kacau, keputusannya pun akan kacau.
Jernih memandang masa lalu sangat penting sebelum mengambil keputusan, mengapa? Karena saat kita jernih memandang masa lalu, kita tidak akan lagi terbayang-bayang atau merasakan beban atas apa yang sudah terjadi di waktu lampau. Itu “Clear” yang pertama.
Kedua, Kejelasan di masa depan. Ini berkaitan dengan pikiran. Dalam Bukunya “Thinking, Fast and Slow”, Daniel Kahneman menyebutkan istilah 'Ilusi.' Karena otak kita bekerja menyerap informasi setiap saat, maka ketika kita menjelek-jelekkan orang lain, prosesnya akan lebih mudah daripada ketika sedang mengkritik diri sendiri. Mengapa? Karena otak kita lebih sering digunakan untuk menyerap informasi dari luar, dan saat kita sedang menjelek-jelekkan orang lain, muncullah ilusi dalam pikiran kita.
Bila keputusan diambil atas dasar ilusi semata, itu sama artinya dengan men-degradasi, menurunkan fungsi otak kita sendiri.
Contoh Ilusi, saat kita dihadapkan, bertemu, berpapasan dengan sosok “Jambret”, seketika yang muncul dalam pikiran adalah bagaimana keseharian tingkah laku si tukang Jambret itu. Meskipun saat itu adalah saat dimana kita baru pertama kali bertemu dengan sosok “Jambret” yang ada di hadapan kita, tapi kita sudah memiliki bayangan-bayangan tentang bagaimana kesehariannya, bagaimana tampangnya di pagi hari, liarnya dia di siang hari, bahkan kita pun membayangkan pula kebiasannya di malam hari.
Mungkin yang kita bayangkan adalah pagi hari dia bangun sangat siang, tidak mandi. Siang hari dia “beroperasi” mencari mangsa, dan malam hari foya-foya.
Mungkin itu pula yang seketika muncul di benak sahabat pembaca. Daniel Kahneman menyebut itu sebagai Ilusi.
Bila kita memandang masa depan dengan berpegangan pada Ilusi, artinya kita masih belum “Clear” dan keputusan yang diambil dalam kondisi yang demikian akan sangat merugikan. Kita terhambat oleh Ilusi kita sendiri.
Ketiga, Kejelasan di masa kini. Inilah “Being in the moment”, kejelasan atas apa yang kita pikirkan saat ini, apa yang kita rasakan persis di saat ini, serta apa yang kita lakukan sekarang adalah makna “Clear” untuk orientasi saat ini.
Keselarasan antara Think, Feel, and Act adalah indikator jernihnya kita dalam memandang saat ini. Bila apa yang kita lakukan justru bertolak belakang dengan apa yang kita rasakan atau pikirkan, itulah kondisi dimana kita belum jernih, belum jelas, belum “Clear”.
Pentingnya kejernihan dalam pengambilan keputusan ibarat meminum air dari sebuah botol yang bening. Kita bisa melihat apa isinya.
Saat kita mengambil keputusan dalam kondisi yang tidak “Clear”, tidak jernih, maka bersiap-siaplah. Bersiap-siaplah dengan kemungkinan terburuk, karena kita tidak tahu apakah air yang kita minum dari sebuah botol yang tidak bening itu berupa obat, penyegar, madu, ataukah racun?
Akhirnya, mari senantiasa jernihkan diri, hati, pikir, dan tindakan.
Demi sebuah keputusan yang kelak tidak kita sesali.
Originally Created by Asep Saeful Ulum
Decision Support Analyst
Follow Twitter : @ulumDSA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H