Mohon tunggu...
Asep Saeful Ulum
Asep Saeful Ulum Mohon Tunggu... Operational Manager of ButterflyAct - Training and Coaching -

Panggilan hati saya adalah tentang Pengambilan Keputusan. Saya tertarik untuk belajar dan membantu apapun yang berkaitan dengan pengambilan keputusan. Sedang menekuni bidang Personal Decision Making, menulis buku tentang keputusan, dan akan merambah pada Government Decision Making. "Trainer Pengambilan Keputusan | Authorized Trainer of ButterflyAct"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Etika Keputusan di Media Sosial

7 September 2014   22:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:22 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ramai kini di pemberitaan tuduhan penghinaan melalui media sosial (Path, Twitter) terhadap Yogyakarta dan pribadi walikota Bandung. Sudah banyak pula yang membahasnya kenapa ini bisa terjadi. Ada yang setuju dengan penahanan pihak yang membuat "status" atau "kicauan", ada pula yang tidak setuju.

Namun, baik mereka yang setuju atau tidak setuju dengan penahanannya, pada dasarnya kedua pihak sama-sama sepaham bahwa penghinaan di media sosial adalah tindakan yang salah, keliru, melanggar etika.

Pertanyaannya kini, mana yang harus kita perbaiki? Media sosialnya, atau etikanya?

Kita semua tahu bahwa kita sulit mengontrol tindakan, pikiran, dan perasaan orang lain terhadap kita, terlebih jika di dunia maya seperti Twitter, Facebook, Instagram atau Path. Dengan kata lain, kita sulit mengontrol stimulus yang memang terjadi di luar kendali kita. Satu yang bisa kita kuasai adalah respons yang akan kita berikan terhadap stimulus-stimulus yang datang.

Stimulus itu bisa berupa kejadian antrian BBM yang panjang. Stimulus itu bisa pula berupa kejadian menggunungnya sampah di jalanan. Apapun kejadiannya, kita sulit mengontrolnya. Yang harus kita kontrol adalah apa respons yang akan kita berikan terhadap kejadian-kejadian itu? Apalagi bila responnya kita perlihatkan, kita tampilkan, kita tunjukkan melalui beberapa kalimat atau gambar di media sosial. Ini penting untuk kita kontrol.

Dulu, ada peribahasa "Think Today and Speak Tomorrow", jangan asal nyeplak, jangan asal bunyi, jangan asal nge-tweet.

Mengapa?

Karena antara Stimulus yang terjadi dengan Respons yang akan kita berikan, terdapat jeda. Jeda itu adalah Kebebasan kita untuk memilih respons. Kebebasan kita untuk membuat keputusan, respon seperti apa yang akan kita berikan untuk stimulus yang baru saja terjadi?

Keputusan (sebagai jeda antara Stimulus dan Respons) sangat bergantung kepada tempat.

Kita sering mendengar, "Keputusanmu itu melanggar Moral!" atau "Keputusanmu itu melanggar Etika!" Apakah makna keduanya sama?

Tidak sama sekali. Moral dan Etika dalam pengambilan keputusan sangat bergantung kepada 'tempat', bergantung pada konteksnya.

Bila konteks pengambilan keputusannya adalah pribadi, maka unsur moral yang harus kita perhatikan. Moral itu berarti kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan (KBBI).

Saya mengambil keputusan untuk saya sendiri atas dasar moral pribadi, sedangkan dia mengambil keputusan untuk dia sendiri atas dasar moral pribadinya. Tidak heran bila 2 hasil keputusan itu mengalami bentrokan. Dalam konteks pengambilan keputusan personal, hal tersebut masih dianggap wajar.

Sebaliknya, bila konteks pengambilan keputusannya adalah kolektif; di ruang umum, terbuka. Maka 'kewajaran' dalam batas moral tadi menghilang, karena yang menjadi acuan adalah Etika. Etika (KBBI) dalam pengambilan keputusan bermakna nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan. Dengan kata lain, benar atau salahnya keputusan golongan tergantung pada benar atau salahnya nilai yang dianut oleh golongan tersebut.

Sekarang, pada kasus penghinaan di dunia maya.

Mengapa banyak yang terjebak lalu terjerat?

Dari 2 perbedaan konteks di atas (moral dan etika), kita bisa lihat, bisa jadi mereka mengira bahwa Media Sosial adalah Media Pribadi sehingga keputusan yang dibuat untuk membuat status, membuat tweet, upload gambar, adalah keputusan yang muncul karena 'rasa pribadinya'; 'isi hatinya'; 'moralnya'. Bukan atas pertimbangan etikanya.

Padahal, menurut Devie Rahmawati (pengamat SosBud), media sosial adalah medium umum, bukan 'diary' yang sifatnya pribadi. Meski itu adalah akun pribadinya, namun ketika dia posting sesuatu di ruang tertentu, sebetulnya itu juga dapat diakses oleh orang lain. Ada kepentingan orang lain pula di sana.

Ada istilahnya netiquette atau etiket berinternet, dimana komunikasi di ruang publik harus memperhatikan falsafah dasar komunikasi, yaitu "Jangan mengatakan atau berperilaku kepada orang lain apa-apa yang kita sendiri tidak ingin mendengarkan atau diperlakukan oleh orang lain terhadap kita."

Sekali lagi, etika sangat bergantung pada nilai benar dan salah yang dianut oleh sekelompok orang. Dan itu kuat mempengaruhi motif, kuat pula mempengaruhi tindakan / respons.

Mulai saat ini, ketika akan mengambil keputusan, perhatikan kembali apakah ini konteksnya keputusan pribadi ataukah keputusan bersama? Bila keputusan pribadi, moral yang disertakan. Bila keputusan bersama, etika harus dilibatkan.

Tentu saja, keputusan kita di media sosial adalah keputusan yang melibatkan unsur 'bersama'. Jadi, ber-etika-lah.

Terima kasih, Salam.

Originally Created by : Asep Saeful Ulum
Decision Support Analyst
Twitter : @UlumDSA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun