Keputusan dan Keputusasaan selamanya akan selalu dekat. Ada yang terjebak memutuskan untuk putus asa. Ada yang putus asa karena tak bisa memutuskan.
"Tak bisa memutuskan" juga sepertinya harus kita revisi menjadi "Tidak tahu bagaimana caranya untuk memutuskan."
Kita bisa bilang, siapa sih yang tidak pernah putus asa? Dulu mungkin kita pernah khilaf dan akhirnya putus asa. Namun, dewasa ini kita lebih sering dan lebih mudah menyaksikan bagaimana orang lain dengan semangat menunjukkan ke-putus-asa-an-nya.
Ironis memang.
BBM naik, harga-harga naik, tiba-tiba yang tadinya tidak terpikirkan justru kini menjadi bahan pikiran setiap saat, setiap waktu.
Bagaimana ini? Bagaimana itu?
Resah. Gelisah. Takut. Putus asa.
Mereka (mungkin kita) tak sadar bahwa sikap yang ditunjukkan karena adanya stimulus yang terjadi di luar kendali kita adalah satu bentuk dari pengambilan keputusan. Kita sedang mengambil keputusan ketika memilih sikap apa yang akan kita tampilkan.
Termasuk menampilkan bentuk-bentuk dari putus asa.
Bolehkah?
Boleh saja. Tapi, penelitian bertahun-tahun terhadap mereka yang 10 kali berhasil melewati keadaan yang serba tidak pasti menunjukkan bahwa yang membedakan mereka dengan pembandingnya adalah mereka tidak membiarkan keputusannya bergantung kepada peristiwa luar biasa yang terjadi di luar kendali mereka.
Mereka yang tingkat keberhasilannya 10 kali lebih baik ketika melewati keadaan yang serba tidak tentu adalah mereka yang mampu mengambil keputusan di area yang memang mereka memiliki kendali penuh di sana.
Salah satunya adalah kendali atas apa sikap yang akan ditunjukkan atas berbagai himpitan yang menekan dari luar sana.
Hidup boleh sulit. Tantangan boleh selangit. Tapi, pilihan sikap sepenuhnya menjadi wilayah keputusan kita.
Putuskanlah!
dan tidak berputus asa.
—-
Asep Saeful Ulum
Decision Support Analyst
Twitter : @UlumDSA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H