- Jerman adalah kekuatan pendorong utama larangan ekspor kelapa sawit dan paksaan ekspor bijih nikel Indonesia
- Perang Ukraina-Russia 2022 membuat Jerman kehilangan sumber energi gas murah yang membolehkan industrinya menjadi kompetitif
- Perang tersebut juga membuat Jerman kehilangan sumber impor bijih nikel terbesarnya
- Kemunafikan Jerman membuatnya kehilangan peran kepemimpinan dan pengaruhnya diantara negara-negara Uni Eropa
Uni Eropa (EU) sedang mencoba memaksa Indonesia meng-ekspor bijih nikelnya. Padahal program bijih nikel ini bagi Indonesia adalah sangat penting untuk membuka industri nilai-tambah (value-added), yang pada akhirnya akan mendekatkan Indonesia selangkah menjadi negara maju untuk memenuhi janji UUD 1945,Â
...mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Di sisi lain EU sebelumnya malah melarang Indonesia untuk meng-ekspor produk minyak kelapa sawit (palm oil) ke pasar EU, atas dasar deforestasi. Padahal EU sendiri juga sedang mengembangkan industri biofuel-nya sendiri, yang tentunya mengurangi lahan untuk hutan. Selain itu, apakah ekstraksi bijih nikel sendiri tidak berkontribusi pada deforestasi?Â
Secara efektif dari kedua kasus ini, Uni Eropa (EU) adalah seorang munafik yang tengah mempraktikan neoimperialisme modern melalui eksploitasinya pada negara berkembang (Indonesia), tapi di sisi lain menggembor-gemborkan demokrasi.
Jerman memiliki insentif terbesar untuk menekan impor minyak kelapa sawit dan mendorong impor bijih nikel EUÂ
Tapi EU sendiri bukanlah sebuah badan politik yang monolitik, di dalamnya terdapat banyak faksi dan kubu-kubu. Jadi mungkin hanya ada beberapa aktor saja yang berdosa atas kemunafikan tersebut. Dan beruntunglah, penulis telah mengidentifikasi siapa yang memiliki  insentif paling tinggi atas dua kasus di tersebut: Jerman.Â
Pada sisi biofuel dan larangan impor kelapa sawit, Jerman memiliki industri komoditas rapeseed, yang merupakan kompetitor langsung kelapa sawit. Bahkan laporan implementasi kebijakan rencana aksi iklim Jerman 2016 (Germany Climate Action Plan) mengatakan Â
 "At its core it has several policy goals: protecting the climate, increasing energy efficiency and a larger share of renewable energy sources in the final energy consumption, while at the same time promoting the growth and competitiveness of the German industry."Â
*Sorotan tebal dari penulis.Â
yang secara implisit merupakan dorongan bagi industri produksi rapeseed Jerman untuk terus berkembang.
Pada sisi nikel, industri-industri Jerman banyak memanfaatkan nikel dalam produksi baja tahan karat (stainless steel). Nikel juga merupakan komponen penting untuk baterai lithium-ion yang diperlukan untuk menggerakkan kendaraan listrik. Sedangkan diketahui, Jerman adalah pemimpin dari pasar kendaraan listrik Eropa.
Sehingga besar insentif bagi Jerman untuk menekan harga nikel dengan hanya mengimpor bahan mentah, serta menghalangi berkembangnya industri pemrosesan nikel Indonesia, sebagai pemilik terbesar cadangan nikel global.Â
Karma Kemunafikan Jerman Berbalik
Mungkin terdengar kejam tapi adalah sebuah fakta bahwa, Indonesia adalah salah satu negara penerima manfaat terbesar terjadinya perang Ukraina-Russia 2022, bersama satu negara lainnya yaitu Paman Sam.
Russia Pemasok Utama Nikel dan Gas Murah Jerman
Perang tersebut telah mencekik Jerman dari pasokan gas murah Russia, yang sangat diperlukannya untuk menjaga daya saing industri Jerman.
Selain sebagai sumber energi, gas murah Russia juga diperlukan dalam berbagai proses industri Jerman, seperti dalam produksi gas hidrogen yang merupakan sebuah langkah vital untuk berbagai proses kimia lain.Â
"Dalam jangka panjang, Saya pikir satu-satunya jalan adalah perdamaian. Jika tidak ada perdamaian di Eropa, kita benar-benar dalam masalah. Dan Industri Jerman serta Eropa benar-benar dalam masalah besar." sebut Christof Gnther, CEO dari InfraLeuna, yang memiliki dan mengoperasikan infrastruktur di Kompleks Kimia Leuna, salah satu kompleks industri kimia terbesar di Jerman, pada reporter MarketWatch. Â
Perang Ukraina-Russia juga membuat Jerman kehilangan pemasok terbesar nikel dan paladium untuk industrinya melalui larangan ekspor bahan mentah Russia.
Kemunafikan Jerman Menurunkan Pengaruh dan Menjatuhkan Kepemimpinannya di Uni Eropa
Di satu sisi, Jerman menganggap dirinya sebagai negara demokratis, tapi di sisi lain ia sungkan membantu Ukraina, sebagai negara yang dijajah. Malah Jerman melalui pengaruhnya di Uni Eropa, mencoba meng-eksploitasi negara berkembang seperti Indonesia, demi memajukan industri domestiknya.Â
Karma kemunafikan geopolitik Jerman berbalik. Kesungkanan pemerintah Jerman untuk mempersenjatai Ukraina menghadapi invasi Russia 2022, telah membuatnya kehilangan pengaruh dan kepemimpinan atas negara anggota EU lainnya, terutama negara-negara di sisi timur Eropa.Â
Karma juga datang bersama larangan impor EU terhadap bahan mentah dan gas murah Russia ke Eropa, dimana keduanya adalah penting bagi daya saing industri Jerman. Akibatnya, profitabilitas industri Jerman pun turun. "Masih jalan, tapi fasilitas-fasilitasnya berjalan dengan profitabilitas buruk. Saya takut sepertinya sebagian besar darinya bahkan tidak menguntungkan saat ini," kata Christof Gunther dalam wawancara yang sama.
Leverage Diplomatis bagi Indonesia
Meminjam kata Bahasa Jerman, schadenfreude, atau kata Basa Jawa, syukurin!, Indonesia saat ini berada di atas Jerman akibat terjadinya perang Ukraina-Russia 2022. Bagaimana tidak? Pemasok nikel terbesar Jerman adalah Russia yang sekarang kena embargo dagang. Begitu pula pemasok terbesar minyak biji bunga matahari adalah Ukraina dan Russia yang sekarang dalam keadaan perang.
Dengan memanfaatkan pengaruh Indonesia di kancah internasional, sepertinya bukan tidak mungkin membalik posisi Indonesia yang kalah di putusan sengketa World Trade Organization (WTO) melalui jalur diplomatis lain dengan memanfaatkan dominasi Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar.Â
Walaupun pada akhirnya Indonesia bisa saja tidak patuh pada putusan WTO, yang umum dilakukan oleh negara-negara besar lain seperti Amerika atas alasan "keamanan nasional". Apalagi sudah banyak kritisi pada WTO yang seringkali bias berpihak kepada negara kaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H