Di masa pandemi ini, sepertinya serasa seluruh halaman berita hanya dipenuhi dengan berita coronavirus. Rata-rata suara yang berkicau ya itu-itu saja, #stayathome, #lockdown, #karantina, dan lain lain. Tapi sepertinya ada beberapa hal yang orang-orang tidak pernah bicarakan. Penulis jujur sangat merasakan frustrasi ketika secara tidak sengaja menemukan essay dan artikel opini di news feed di browser penulis, tapi ya suara yang berkicau itu-itu saja.
Penulis akan mencoba to-the-point saja. Ada beberapa hal krusial yang seharusnya dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan mengenai penanganan virus ini, tapi sepertinya tidak ada suara yang mau mengangkatnya. Mungkin karena media masa internet sudah dipenuhi dengan buzzer atau apalah itu namanya, tentara bayaran siber, dibayar tiap posting 500 Rupiah.
Singkatnya ada dua poin yang penulis ingin angkat:
Terutama poin pertama, sepertinya seluruh suara yang berkembang adalah berkata implisit, "Virus ini sangat berbahaya. Keinfeksi bisa mati. Menjauh kamu dari diriku!". Sedangkan poin kedua sangat berkaitan erat dengan poin pertama.
- Seberapa berbahaya virus ini sebenarnya?
Paling sederhana, untuk mengetahui seberapa berbahanya virus, kita perlu melihat tingkat kematian. Nah, di sini biasanya orang-orang sepertinya sering bingung. Ada case fatality rate (CFR), diterjemahkan menjadi, tingkat kematian kasus; lalu angka yang sebenarnya paling penting dan perlu diketahui: infected fatality rate (IFR), diterjemahkan, tingkat kematian terinfeksi.
Case fatality rate (CFR), ini berarti tingkat kematian dari data yang terekam. Jadi jika orang yang terinfeksi terus meninggal tanpa didiagnosa positif, tidak masuk dalam angka ini.
Infected fatality rate (IFR), adalah angka kematian "sebenarnya". Dalam artian, jika semua orang terinfeksi, ada berapa orang yang meninggal. Angka ini setara dengan CFR, jika dan hanya jika, semua orang terdiagnosa.
Secara praktis, hanya angka CFR yang bisa kita ketahui. Angka IFR kita dapatkan dari (mungkin) pemodelan atau komparasi dengan negara lain yang melakukan uji secara khusus, seperti randomized testing di Islandia (0,3%)[3], serta antibody test pada populasi di Jerman(0,37%)[4], Belanda(<1%)[5], dan Kalifornia(<0,27%)[6], atau bisa juga data CFR di negara yang melakukan testing berskala besar sehingga seluruh kasus terinfeksi bisa diasumsikan terlacak seperti di Korea(~1,2%)[1] dan Jerman(~2,2%)[2].
Di data tersebut uji antibodi memberikan indikasi bahwa tingkat kematian jauh di bawah 1%, sedangkan tingkat kematian kasus terekam (CFR) lebih dari 1%. Tapi sepertinya, para ahli percaya bahwa tingkat kematian terinfeksi, IFR, berada di bawah 1%[7]. Sehingga tingkat kematian yang terekam di atas 1% diakibatkan oleh faktor uji yang tidak memadahi dan banyak kasus tak terekam, terutama pada golongan yang tidak menunjukkan gejala sama sekali, yang menurut data Islandia adalah setengah dari populasi terinfeksi[8].
Untuk informasi mendalam mengenai uji antibody, penulis sarankan untuk cari-cari sendiri di google. Karena uji antibody ini sepertinya berpotensi memberikan informasi yang jauh lebih lengkap dari uji yang selama ini kita lakukan.
Kesimpulan: Meninjau data uji dari beberapa negara dan pendapat pakar, tingkat kematian terinfeksi (IFR) memiliki indikasi kuat berada di bawah satu persen (<1%). Ini berarti, jika seluruh populasi Indonesia dibiarkan terjangkit, akan ada paling banyak 3 juta populasi meninggal.
Catatan: Sebenarnya angkanya lebih dekat 2,6 juta (maksimal) tapi penulis bulatkan karena penulis seorang fisikawan by training, we approximate everything to first order.
- Lockdown vs PSBB vs Go Yolo (dibebaskan)
Jadi berbekal proyeksi tingkat kematian jika dibebaskan (tanpa lockdown+PSBB) maka di Indonesia akan ada jatuh korban paling banyak 3 Juta. Angka ini cukup dekat dengan 2,6 juta proyeksi dari tim riset gabungan beberapa universitas terkemuka nasional dan dunia[9]. Mungkin melihat angka ini akan banyak orang yang kaget ketakutan, jumlah kematian yang begitu besar, sehingga berakibat pada kesimpulan, "Kita harus lockdown total!!"
Masalahnya ada sisi lain yang perlu diperhatikan dalam pengambilan kebijakan lockdown ini, itu adalah... yes, ekonomi. "Hah??!! Ekonomi?? Ekonomi can go under for wherever I care! We should save lives!!"
Secara face value ekonomi mungkin hanyalah angka-angka di excel. Tapi ekonomi di sini sangat berkaitan erat dengan nyawa. Menurut BPS, data februari 2019, jumlah pekerja sektor informal ada 74 juta jiwa[10]. Jika kita melakukan lockdown total, bisakah pemerintah menjamin seluruh kehidupan 74 juta jiwa ini ditambah lagi dengan keluarga yang disokongnya?
Melihat rekam jejaknya, sepertinya hal ini sangat tidak realistis[11]. Ada banyak permasalahan, mulai dari yang paling jelas pelaksana survey yang korup, hingga kesulitan mendata sebagian besar masyarakat yang miskin, serta berapa lama survei ini berlangsung. Mencoba mendata mereka-mereka yang membutuhkan sepertinya hanya akan menjadi administrative nightmare. Uang dan waktu yang dipakai untuk survei, akan jauh lebih baik digunakan untuk bantuan sosial atau social safety net.
Singkatnya, pemerintah harus menjamin seluruh 260 juta lebih manusia Indonesia. Mungkinkah? Jika iya, bagaimana pengawasannya? Bisa mengawasi pergerakan 260 juta lebih manusia? Atau mau jadi negara big brother dengan kamera pengawas di setiap persegi lahan di Indonesia?
Ok lah, terlepas apakah Indonesia mau menjadi surveillance state, penulis sangat-sangat ragu akan kemampuan pemerintah jika diambil kebijakan lockdown. Bukan karena pemerintah tidak kompeten, tapi misal jika pemerintah Indonesia adalah yang paling kompeten di Bumi, menggerakan 260 juta lebih tentara adalah hal yang amat-amat sulit, baik secara logistik maupun administratif.
Singkat cerita, lockdown total akan mengancam puluhan juta atau bahkan ratusan juta manusia Indonesia. Tujuh puluh juta lebih pekerja sektor informal, yang masing-masing mungkin perlu menghidupi keluarganya, nyawa ratusan juta terancam.
Secara angka, 3 juta atau 70 juta nyawa, lebih berat yang mana?
Lockdown total, atau PSBB berlebihan justru hanya akan menggeser beban nasional dari si kaya ke pundak si miskin. Penulis lebih setuju jika rakyat Indonesia sama-sama memikul beban ini, baik kaya maupun miskin. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Pertanyaannya penulis ulang, 3 juta nyawa atau 70 juta nyawa si miskin, lebih berat yang mana?
Disclaimer: Penulis bukanlah ahli epidemiologi, tapi hanya berbekal pengetahuan dasar penulis sembari usaha pribadi dalam mencari informasi. Jika terdapat kesalahan faktual, mohon memberitahu penulis.
[2] https://www.timesofisrael.com/mass-testing-empty-icus-germany-scores-early-against-virus/
[5] www.reuters.com/artcle/us-health-coronavirus-netherlands-study/dutch-study-suggests-3-of-population-may-have-coronavirus-antibodies-idUSKCN21Y102
[6] https://www.vox.com/2020/4/24/21229415/coronavirus-antibody-testing-covid-19-california-survey
[7] https://www.nytimes.com/2020/04/17/us/coronavirus-death-rate.html
[8] https://futurism.com/neoscope/half-coronavirus-carriers-no-symptoms
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H