Kompasiana - Setelah berkali-kali diajukan, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengeluarkan putusan yang mengabulkan gugatan terkait aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, atau yang dikenal sebagai presidential threshold.Â
Melalui putusan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis, 2 Januari 2025 kemarin, MK menetapkan bahwa partai politik peserta pemilu dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa terikat persyaratan persentase kursi DPR atau perolehan suara sah nasional.
Lalu, benarkah keputusan MK menghapus presidential threshold membuka ruang politik yang lebih inklusif atau malah akan menjadi ancaman polarisasi politik ? mari kita bahas
Putusan MK yang menghapus aturan presidential threshold memicu berbagai tanggapan tajam di berbagai kalangan masyarakat.Â
Di satu sisi, langkah ini dipandang sebagai kemenangan demokrasi karena memberikan ruang lebih besar bagi partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden tanpa dibatasi oleh ambang persentase tertentu.Â
Namun, di sisi lain banyak pihak yg mengkhawatirkan dampak jangka panjangnya terhadap stabilitas politik di Indonesia.
Demokrasi yang Lebih Inklusif
Sistem sebelumnya sering dikritik karena dianggap membatasi partisipasi politik hanya kepada koalisi besar. Akibatnya, suara partai-partai kecil sering kali termarginalisasi, meskipun mereka memiliki basis massa yang signifikan.Â
Dengan dihapusnya presidential threshold, partai-partai kecil kini memiliki kesempatan untuk menyuarakan aspirasi rakyat secara langsung dalam pemilihan presiden.Â
Hal ini juga berpotensi mendorong munculnya calon-calon alternatif yang lebih beragam, sehingga memperluas pilihan bagi rakyat.
Ancaman Polarisasi Politik
Namun, di balik manfaatnya, keputusan ini juga menyimpan risiko besar, terutama terkait polarisasi politik.Â
Dengan lebih banyak pasangan calon yang berlaga, potensi fragmentasi suara menjadi lebih tinggi. Hal ini dapat memperbesar kemungkinan terjadinya pemilu dua putaran yang melelahkan, serta memperdalam perpecahan di tengah masyarakat.Â
Selain itu, munculnya banyak kandidat juga berpotensi meningkatkan politik identitas, yang selama ini menjadi ancaman nyata bagi persatuan bangsa Indonesia.
Jadi, apakah penghapusan presidential threshold akan memperkuat demokrasi atau justru memicu polarisasi?Â
Jawabannya tergantung pada bagaimana bangsa ini mengelola dinamika politik yang lebih kompleks.Â
yg jelas, keputusan ini menuntut tanggung jawab bersama, baik dari partai politik maupun masyarakat, untuk menjaga nilai-nilai demokrasi tanpa mengorbankan persatuan nasional republik Indonesia.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H