Pencitraan, inilah kata yang sering kita dengar belakangan ini. Hampir semua politisi melakukannya, kebanyakan dengan motif untuk menarik simpati para konstituen dan masyarakat umum. Sebenarnya hal ini sah-sah saja, mengingat terjun dalam bidang politik membutuhkan biaya yang besar sehingga segala cara akan digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Pencitraan sangat berhubungan dengan tujuan politisi tersebut, apa yang menjadi target ambisinya. Jika tujuannya adalah demi kesejahteraan masyarakat maka tidak perlu susah payah memoles diri sedemikian rupa, cukup dengan bekerja keras dan melayani masyarakat maka dia akan dikenang memiliki citra yang baik. Namun jika tujuannya adalah demi kekayaan dan kekuasaan semata, maka pencitraan hanya akan membuka kedok sebenarnya. Satu-persatu aib dan kepura-puraan akan terbuka, ini adalah hukum alam.
Sayangnya di negara tercinta kita ini, lebih banyak politisi yang melakukan pencitraan demi kekayaan dan kekuasaan. Saat kampanye blusukan kesana-kemari meminta dukungan, membawa janji manis yang melenakan masyarakat. Dan setelah terpilih, biasanya lupa diri, berubah menjadi orang yang tidak menepati janji, arogan, sombong dan pamer kuasa. Sungguh masyarakat tidak bodoh, mereka diam bukan berarti lemah, tapi karena kesabaran dan mereka pasti akan menghukum politisi seperti ini dengan jalan tidak memilihnya kembali.
Pencitraan dalam politik boleh saja dilakukan, asal dengan niat tulus untuk mengabdi kepada masyarakat. Tapi lebih baik menjadi diri sendiri, karena waktu akan menjawab siapa diri kita sebenarnya, sebab manusia tidak akan pernah sanggup bersandiwara seumur hidup.
Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H