Mohon tunggu...
pyoko ultra
pyoko ultra Mohon Tunggu... -

ya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Berak dan Etika Berakan

21 Oktober 2013   10:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:14 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam tulisan ini saya sengaja tidak akan mengganti kata berak dengan buang air besar serta tai dengan feses. Hal ini sengaja untuk merasakan efek sakral pada kata-kata tersebut untuk lebih memahami tentang kesakralan.

Menurut Georgio Agamben, yang sakral adalah kesatuan antara mitos dan ritual.

Berak adalah salah satunya. Berak selalu sakral, karena berak tidak bisa dipahami sebagai peristiwa natural. Baik kata-kata maupun berak sebagai suatu perbuatan, selalu mengandung hal yang sakral. Kita tidak bisa mengucapkan kata berak secara sembarangan, dan juga kita tidak bisa berak sembarangan seperti kambing. Jika kita kukuh mengamini berak sebagai hal yang natural, kenyataannya selalu ada separasi dan isolasi dalam kegiatan berak. Berak tidak bisa dikatakan disembarang tempat dan dilakukan disembarang tempat. Kegiatan berak sendiri adalah ritual dari bentuk represi. Represi dalam bentuk disiplin yang diajarkan orangtua kepada anak.

Yang menarik perhatian adalah, apakah dari berak tersebut menimbulkan rasa tidak senang dalam alam bawah sadar kita. Atau adakah penyakit-penyakit mental dari pelarangan berak tersebut jika kita lihat dalam kacamata Freudian?

Atau, kita beralih ke Foucoult. Jika separasi dan isolasi seks membentuk rasa ingin tahu. Kemudian, akses-akses rasa ingin tahu, membentuk relasi individu dan instansi tentang bagaimana pengetahuan ditangani, maka pertanyaan yang mungkin adalah adakah relasi-relasi kuasa dari berak itu sendiri? Atau adakah yang mau tahu tentang masalah berak? Kemudian dari rasa ingin tahu, membentuk relasi kuasa? Relasi benar-tidak, dan boleh-tidak?

Catatan penting yang dikemukakan Agamben adalah profanasi (menduniawikan). Profanasi adalah kegiatan yang kita lakukan dengan cara memikirkan dimensi baru dalam penggunaan “yang sakral” demi tujuan kemanusiaan. Kemanusiaan yang dimaksud adalah kebahagiaan, dengan tanpa maksud membuat penggunaaan tersebut berhenti. Profanasi merupakan buah kritik kepada sakralitas kapitalisme.

Ambil contoh i-phone. I-phone merupakan sebuah kesakralan. I-phone tidak bisa dipahami sebagai sekedar alat komunikasi. Ada mitos dan ritual didalamnya. Ritual mengantri ketika ada seri terbaru dikeluarkan, dan mitos separasi yang membedakannya dengan pengguna hp seratusribuan. Kesakralan ini yang bisa membentuk ketidakbahagiaan. Mereka yang tidak punya i-phone, secara status tiba-tiba ajaib menjadi lebih “rendah”, dan para pemburu i-phone tiba-tiba tidak senang jika belum memilikinya,-seperti ada yang kurang.

Bagaimana bentuk i-phone dengan dimensi baru penggunaan? Ambil contoh adalah bagiamana anak-anak memperlakukan i-phone. Ditangan mereka i-phone bisa berubah menjadi mainan yang menyenangkan (bisa mobil-mobilan, pesawat, dsb), dan mereka bahagia ketimbang orangtuanya. Intinya adalah tidak bertindak harus seperti anak-anak, tetapi kesadaran untuk menduniawikan yang sakral menjadi proyek kemanusiaan. Profanasi membawa kesadaran kemanusiaan akan kemungkinan-kemungkinan baru mengenai kebahagiaan diluar yang disediakan yang sakral. Selama itu manusia, maka prinsip “kemungkinan” adalah intrinsik manusia itu sendiri. Manusia bukan bahasa pemrograman. Profanasi juga bukan berarti menghentikan penggunaan. Apa jadinya jika i-phone dimaknai hanya benda plastik? Profanasi adalah ranah permainan.

Kembali ke masalah berak. Berak tidak bisa ditarik kepada profanasi semacam itu. Hasilnya hanya sesuatu yang paradoks. Tai tidak bisa dipikirkan dalam penggunaan-penggunaan baru, karena tidak ada yang mau menggunakan tai. Tidak ada seorangpun yang ingin kembali ke masa bayi, dan menggunakan tai sebagai mainan. Salah satu “new use” untuk berak adalah hal yang ditawarkan Nietzsche, tafsir metafora. Bagi Agamben, Berak bisa dipahami sebagai relasi privat-publik, umum-khusus, kultur dan natur.

Saya akan menawarkan tentang Etika Berakan. Etika Berakan adalah etika yang harus dimunculkan untuk menyikapi perbedaan. Etika Berakan berbeda dengan Etika Berak yang membahas cara-cara berak yang baik. Etika Berakan adalah skema mental berfikir tentang berak untuk prilaku pergaulan.

Kenapa manusia bisa setara? Jawabannya adalah mungkin karena kita sama-sama makhluk tuhan. Tetapi tuhan yang mana? Setiap agama selalu mengeklusi yang lain yang tidak masuk kategorinya.Jika kita perluas makna tuhan, maka disisi mana kita kategorikan orang yang tidak bertuhan? Atau jika kita asumsikan karena kita sama-sama manusia, maka sejarah manusia sendiri adalah sejarah membeda-bedakan.

Maka etika Berakan inilah yang bisa kita andalkan. Tai adalah satu-satunya produksi manusia yang tidak diakui, padahal dia adalah buah karya manusia itu sendiri. Kelebihan Etika Berakan adalah mengakui perbedaan tetapi justru menuju kesetaraan. Tai sebagai produk adalah berbeda untuk tiap orang. Dalam pola konsumsi ada perbedaan. Orang yang memakan kaviar lebih tinggi statusnya dari singkong. Relasinya bukan sesederhana kaviar lebih enak dari singkong, tetapi orang yang mampu membeli kaviar bisa membeli singkong,namun tidak sebaliknya. Dalam produksi tai, jelas ada perbedaan. Orang yang mengkonsumsi kaviar jelas memiliki bentuk tai yang berbeda dengan yang memakan singkong (agak mual juga jika kita membayangkannya). Tetapi dalam perbedannnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, manusia memperlakukan dirinya satu sama lain dengan setara. Ada etalase untuk Dolce-Gabbana yang membedakannya dengan produksi pabrik pakaian di Cimahi, tetapi tidak untuk tai. Mereka membuang apa yang diproduksinya. Sebetulnya yang saya harapkan adalah lebih dari itu, yakni kita mengalungkan tai satu-sama lain, kemudian dari jenis tai tersebut dibentuk relasi kuasa satu sama lain.

Etika Berakan inilah yang menjadi patokan bagi kita untuk berprilaku. Etika Berakan yang justru sebetulnya mengembalikan sesuatu kembali berpijak kepada tanah (duniawi), seperti tai yang di urai mikroba untuk menyuburkan tanah.

Sebelum kita bertindak rasis, sebaiknya kita memikirkan berak. Mengkategorikan kata-kata atau prilaku rasis layaknya tai. Pembedaan berdasarkan ras adalah pembedaan yang sulit dibuktikan validitasnya seperti tai. Tai berbeda, tetapi tidak ada orang yang mau mengklaim ‘efek’ dari perbedaannya. Tak ada seorangpun yang mau dibedakan karena penampakan tubuh dan juga produksi tubuh.

Sebelum kita menunpuk benda-benda untuk membedakan dengan tetangga, pikir lagi tentang berak. Sebelum kita membuli orang, bayangkan tentang berak. Mungkin begitulah cara kerjanya.

Arilel, Messi, Rocco dan Farhat pun berak. Nabilah, Miyabi, Virginie Ledoyen, ratu Inggris juga berak. Mengurangi yang sacral dengan membicarakan yang sacral.

Etika Berakan adalah etika yang juga menolong kita dari sakralitas kekuasaan itu sendiri. Tarikan ketidakberdayaan akan relasi kuasa bisa diingatkan kembali melalui berak (presiden dan menteri pun berak). Seperti orang yang mengidolakan seseorang secara berlebihan, kemudian tiba-tiba tersadar ketika usaha yang luar biasa untuk menemui idola teinterupsi karena sang idola lagi berak. Etika Berakan tidak menyetop usaha kita untuk menghormati, tetapi lebih menjadi pengingat mengenai nilai-nilai keduniawian yang seharusnya proporsional dan membuka peluang kemungkinan nilai-nilai yang lebih menyenangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun