Mohon tunggu...
Ultimate555
Ultimate555 Mohon Tunggu... Freelancer - writer

reincarnation of a very old soul positive vibes & spread loves

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membangunkan Mimpi

31 Agustus 2020   22:48 Diperbarui: 31 Agustus 2020   22:37 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Chapter I  

Ide gila itu muncul begitu saja. Ya, tanggal 16 Mei 2020. Tepat tiga hari setelah ulang tahunku yang ke tiga puluh enam. Aku ingin melakukan sesuatu yang belum pernah terpikirkanku, sesuatu yang tidak bisa kuceritakan ke orang-orang, karena mereka akan menganggap aku sinting.  

Ketika itu aku sedang mengupas bawang merah untuk membuat sambal balado yang akan dicampur dengan ikan kembung  goreng yang akan jadi lauk makan siang kami. 

Sejak pandemi covid-19, kami memutuskan untuk merumahkan sementara ART yang setiap hari pergi-pulang dari rumahnya ke rumah kami. 

Perjalanannya setiap hari dengan menggunakan angkutan umum itu menurut kami cukup beresiko, karena saat ini dirumah ada dua orang lansia yang benar-benar kami jaga agar tidak tersentuh Covid-19. Akibatnya pekerjaan rumah sehari-haripun terpaksa kami lakukan bersama-sama.

Aku terinspirasi dari novel Aleph, ketika Paulo Coelho yang melakukan perjalanan dari Moskow ke Vladivostok dengan menggunakan kereta api Trans-Siberia yang jarak tempuhnya 9,288 Km. Gila kan? Belum! 

Masih belum cukup gila, aku akan menjadi back-packer dari kota tempatku duduk mengetikkan cerita ini menuju ke Moscow. Masih belum cukup gila? Aku bahkan tidak bisa menebak titik kota Moscow di google map yang langsung aku cek dari iphoneku sesaat setelah ide itu muncul dikepalaku. 

Sebelumnya aku membayangkan kota Moscow itu posisinya seratus delapan puluh derajat sebelah utara Mongolia, karena disitulah tertulis "Rusia" maka kota Moscow yang adalah ibukota Rusia pasti ada disekitar tulisan Rusia itu. Kalau tidak disebelah atasnya,mungkin dibawahnya, atau disamping kiri atau kanannya. Ternyata aku salah, Moscow itu posisinya berdampingan dengan Latvia, Lithuania, dan Belarusia. 

Akupun mulai ragu apakah nilai 10 yang pernah tercantum di rapor kelas 1 SMA ku itu, tepat disebelah kolom mata peajaran Geografi, pantas aku dapatkan?

Seorang guru spiritual yang channel youtubenya sekarang aku subscribe karena videonya selalu membuat bulu kudukku merinding dengan kalimat-kalimat motivasi yang penuh energi pernah berkata bahwa aku harus bermimpi besar untuk bisa mendapatkan sesuatu yang besar. 

Ya, dia berkata itu kepadaku, dari tatapan matanya yang kulihat di layar ipadku, aku berani memutuskan dia mengatakan itu khusus untukku, dan aku hampir merasa yakin dia tahu kalau aku tidak pernah memimpikan sesuatu yang besar untuk diriku sendiri sebelumnya. 

Aku memang punya beberapa  mimpi-mimpi, yang belakangan kuketahui bukanlah mimpiku, tapi mimpi-mimpi orang lain yang kucoba untuk kumanifestasikan dalam hidupku. Guru spiritual itu seolah-oleh berkata:

"Enough with other people's dreams, do your dreams now!" 

Sebenarnya aku sudah mendengarnya berkata begitu sekitar beberapa bulan yang lalu, tapi aku baru bisa merasakan energi yang dia kirimkan melalui videonya itu sekarang ini. Memang benarlah bahwa energi itu timeless, ia akan datang kepada targetnya tepat pada waktunya. Energi itu begitu kuat, seolah-olah konfirmasi atas pertanyaanku sehari sebelumnya setelah melihat satu orang lagi tetanggaku menjadi korban jiwa virus Covid-19.

          "That's it? Life ended that easy?"

Tidak ada yang menyangka bahwa virus mematikan itu akan mendatangi targetnya di tahun 2020 ini, dimana banyak sekali orang mulai membuka daftar-daftar mimpi mereka yang akan mulai mereka coba wujudkan bertepatan dengan bulan pertama di awal tahun itu. 

Tidak ada yang menyangka bahwa virus itu akan berdampak jangka panjang, bukan hanya di sektor kesehatan saja, tapi juga mempengaruhi banyak sektor lainnya.

Aku tidak akan membahas tentang apa-apa saja mimpi mereka yang telah disabotase oleh keberadaan virus ini. Aku yakin banyak airmata yang tertumpah selain dari kabar kematian. 

Mimpi yang dirampas pun bisa menjatuhkan airmata. Bahkan mungkin lebih menyakitkan dari kematian. Jika memang hidup semudah itu berakhir, entah kenapa manusia masih sibuk-sibuk dengan urusan masa depan.

Hah, aku seperti merasa tersindir, aku mengingat kembali mimpi-mimpi orang lain yang aku masukkan dalam daftar mimpi yang harus berhasil aku raih dalam hidupku yang singkat ini. 

Sudah saatnya aku menghapus mimpi-mimpi itu. Ya, jika hidup memang semudah itu berakhir, tidak ada waktu untuk mewujudkan mimpi orang. Aku setuju dengan nasehat guru spiritual itu, berhentilah menjalani kehidupan orang lain, berhentilah meraih mimpi orang lain, mulailah meraih mimpimu sendiri, namun sebelum kau mulai berpacu untuk mewujudkan mimpi-mimpimu, terlebih dulu pastikan kau sudah menemukannya.

Aku meneteskan sedikit airmata, bukan karena bawang yang sedang kukupas, tapi karena semangat yang membara dalam dadaku tentang mimpi baru yang belum sempat kuangan-angankan itu. 

Aku seperti merasakan ada suara lembut dari hatiku yang paling dalam mengajakku untuk melakukannya. Semacam pernyataan, semacam persetujuan, semacam bunyi ketukan halus ketika petugas imigrasi mencap paspor yang menyatakan kita telah diizinkan dan sah untuk berpetualang di negeri mereka. 

Aku selalu merasa senang ketika mendengar suara lembut itu. Suara itu jarang terdengar, tapi begitu ia muncul selalu dibarengi dengan suntikan energi yang demikian dahsyatnya, dan aku langsung merasakan mulas ringan diperutku yang akan sembuh sendiri dengan beberapa helaan nafas.

Aku percaya itu adalah bentuk konfirmasi dari alam bawah sadarku yang selama ini memeluk impian itu dalam buaiannya yang hangat menunggu untuk dibangunkan. 

Sekali ia dibangunkan, hidupku akan berubah, tidak ada istilah untuk menyuruhnya tidur kembali. Ia akan menungguku untuk menjelaskan kepadanya apa yang akan aku lakukan berikutnya. 

Ia akan menjadi hakim atas diriku dan nyaliku yang cukup berani untuk membangunkannya. Ia akan memperhatikan tahap demi tahap apa usaha yang aku lakukan untuk mewujudkannya---mimpi yang telah dibangunkan itu.

Hanya ada dua hasil yang bisa ditunjukan kepadanya. Mimpi yang terwujud atau mimpi yang hanya akan menjadi impian belaka. Jika aku berhasil mewujudkannya, ia pasti bersorak dan tatapan matanya yang penuh kekaguman itu tidak akan pernah bisa memadamkan api kepuasan dalam jiwaku.  

Jika aku gagal mewujudkannya, ia yang tidak akan pernah kembali tidur itu akan menjadi kenangan pahit yang memang harus  bisa diterima oleh setiap insan bahwa akan ada mimpi yang akan tetap menjadi impian selamanya. Ia akan menjadi bagian masa lalu yang gagal seiring dengan berlalunya waktu. 

Ia akan duduk disana, didalam hati yang paling dalam, menceritakan pada jiwa, bahwa ia seharusnya tidak duduk disitu, ia seharusnya sekarang telah melepas partikel-partikel terkecil dari dirinya hari demi hari ketika tubuh mewujudkannya dalam pengalaman nyata. Ia hanya akan duduk disana, diam, melihat tubuh yang semakin menua dimakan waktu. 

Memperhatikan jiwa yang semakin tebal dengan tumpukan energi  kosmos atas semua yang terjadi dalam hidup. Ia tersenyum simpul dan berkata: "Hei, aku hampir saja ada disana."

Aku percaya impian yang tidak menjadi kenyataan akan menjadi hutang jiwa untuk kehidupan yang berikutnya. Membangunkan mimpi bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. 

Seratus atau dua ratus, atau tiga ratus tahun lagi, pada kehidupan selanjutnya, di tubuh yang berbeda, ia masih akan tetap duduk disana, didasar hati yang paling dalam, membisikkan sesuatu kepada tubuh barunya, bukan ke telinganya, tapi ke jiwanya, dan berkata: "Aku mau kesana, aku telah dibangunkan, beratus-ratus tahun yang lalu, maukah kau membawaku kesana?" Dan jika ia beruntung, tubuh barunya akan menjadikannya mimpi yang sempurna, jika tidak, ia terpaksa harus kembali duduk dan menunggu kesempatan lain.

Apakah kalian pernah merasa seakan-akan ingin melakukan sesuatu, tapi kalian heran dan berkata:

"Kok bisa-bisanya aku punya ide gila seperti itu? Hah, jangan sampai ada yang mendengar ide itu, nanti aku dibilang sinting!"

Tapi dorongan untuk melakukan ide gila itu semakin menjadi-jadi. Kalian merasa seperti sudah kehilangan akal sehat, dan ide gila itu jelas-jelas bukanlah mencerminkan kepribadian kalian. Semakin kalian mencoba untuk menepiskannya, suaranya semakin kuat terdengar, bukan ditelinga, tetapi dihati yang paling dalam, sampai-sampai perut kalian terasa mual.

Jika kalian pernah mengalami hal seperti itu, mungkin kalian sedang berhadapan dengan mimpi yang dibangunkan, menunggu untuk diwujudkan. Sekaranglah waktunya.

"Hai, teman lama. Aku mengenalmu, aku mengenal getaran dan frekuensimu, atas nama tubuh, jiwa, dan rohku  yang terdahulu, aku meminta maaf karena telah membuatmu lama menunggu. Kita akan berpetualang sekarang."

Aku merasa mataku semakin basah, dan perih, juga panas. Aku tahu yang dirasakan mataku itu bukan hanya karena airmata sedihdan haru, tapi karena bawang yang kukupas ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun