"Betapa bagusnya hal yang dimiliki Adam. Ketika dia mengatakan hal yang baik, dia tahu tidak ada orang yang pernah mengatakannya sebelumnya" (Mark Twain).
Sebenarnya ini ungkapan bernada sindiran bagi mereka yang hidup bukan pada zaman Adam, tapi sekarang. Koq, bisa?
Merujuk pada KBBI, istilah ini berarti penjiplakan yang melanggar hak cipta. Maka tentu Adam pada masa itu tidak dapat disebut seorang plagiarisme. Ia justru sang penggagas, pembuat hal-hal baru---ini tentu harus dipisahkan dari campur tangan sang penciptanya. Karena yang dicipta tentu belajar dan mendapat mandat langsung dari penciptanya.
Terlalu jauh memang jika kita bicara soal Adam, kemudian membawanya pada konteks masa sekarang. Namun sindiran baik oleh Mark Twain di atas mengingatkan kita tentang praktik penjiplakan itu sudah dan terus turun temurun ada.
Hal baik yang ditiru, tentu baik. Apa pun itu.
Namun istilah itu justru menjadi berkonotasi negatif ketika disandingkan dengan sebuah karya tulis. Dalam dunia akademik khususnya, tak boleh ini dilakukan. Menjadi hal tabu bahkan memalukan jika diterapkan. Bahkan ada aturan tertulisnya---Pasal 10 ayat (3) Permendikbudristek 39/2021--- hingga jerat hukum bagi pelaku plagiarisme.
Dunia penerbitan berkaitan erat juga dengan istilah ini. Seorang penyunting naskah sering menemukan potongan satu paragraf, bahkan lebih, yang dicomot penulis tanpa menuliskan sumbernya. Seakan itu ide orisinal dari penulis langsung. Apa pun perilakunya, plagiarisme adalah hal yang tidak patut, mengingat karya orang lain perlu dihargai dan diberi ruang 'hak cipta' kepadanya.
Jadi, apakah seorang penulis perlu menjaga diri dari plagiarisme? Tentu!
Mengutip https://www.instagram.com/p/C7npQWYRsr0/?igsh=MTJibmI5MDhybnVjMg==, berikut empat jenis plagiarisme untuk diketahui seorang penulis. Dengannya, ia tahu bagaimana menjaga diri, menjaga integritas, menjaga etika intelektualnya terjaga dengan baik.
1. Plagiarisme diri sendiri (Self Plagiarism)