Hari itu di istananya, Timur Lenk memberi hadiah seekor keledai kepada Nasruddin Hoja. Hoja menerima hadiah itu dengan penuh suka cita dan rasa syukur tak henti- hentinya kepada Tuhan  --seperti yang dapat kita baca kisahnya pada 'Sholat  Jumat di Hari Kamis: Humor Sufi", oleh Idries Shah, dan di dalam  "A Donkey Reads", oleh Muriel Mandell dan Andre Letria.
Timur Lenk kemudian berpesan kepada Hoja, "Ajari keledaimu itu membaca. Pada dua pekan mendatang, datanglah kembali kemari dan membawa keledaimu. Kita akan lihat hasilnya nanti".
Hoja pamit dan membawa pulang keledai, hadiah dari Timur Lank itu. Setelah dua pekan berlalu, Hoja kembali ke istana untuk membawa keledainya. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar, yang terletak diatas sebuah meja panjang. Hoja lalu menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.
Si keledai menatap buku itu sebentar. Tak lama kemudian, ia mulai membalik halamannya dengan menggunakan lidahnya. Satu persatu halaman buku itu dibaliknya sampai ke halaman terakhir. Setelah itu, si keledai menatap Hoja.
"Demikianlah paduka", kata Hoja kepada Timur Lenk. "Keledai saya sudah bisa membaca".
Timur Lenk diam sejenak sebelum mulai memberi komentar. "Bagaimana caramu mengajari keledaimu membaca seperti itu ?".
Hoja menjelaskan, "Sesampai di rumah, dua pekan lalu itu, saya siapkan lembaran- lembaran kertas menjadi mirip sebuah buku besar. Pada setiap lembarannya, saya sisipkan biji- biji gandum. Keledai itu harus "belajar" Â membalik satu demi satu halaman lembaran- lembaran kertas itu agar bisa memakan biji- biji gandum dibalik lembarannya. Demikian selama dua pekan, ia belajar membalik- balik halaman "buku" itu sampai benar dan lancar".
"Tapi", menyela Timur Lenk seakan tidak puas. "Bukankah keledaimu itu tidak mengerti apa yang dibacanya ?".
Hoja menjawab, "Benar, paduka. Memang demikianlah cara keledai "membaca" Â buku. Ia hanya membalik- balik halaman buku, tanpa mengerti isinya. Kalau kita manusia, membuka- buka halaman buku tanpa mengerti atau tidak mau "mengerti" isinya, kita disebut "sedungu"Â keledai, bukan ?".
Nah.....
****
Meski si keledai tak mengerti tentang apa yang dibacanya, humor "kedunguan" si keledai -- milik Hoja -- membaca buku ini, bila kita telisik lebih jauh, membawa sedikitnya tiga pesan "kearifan". Tiga pesan kearifan, yang justru mengajari kita cara "membaca".Â
Yang pertama, ia --si keledai -- "berbaik- sangka" ketika kebiasaan makannya tiba- tiba harus diganti. Dari mengambil jerami rumput atau tangkai tanaman barley, yang disediakan di dalam wadah khusus tempat makanan keledai menjadi mengambil biji- biji gandum dari balik halaman- halaman buku.
Bahwa tuannya telah memilihkan cara itu untuknya, adalah dengan tujuan agar ia bisa "membaca". Padahal, mengambil makanan yang disediakan di dalam wadah khusus, adalah kebiasaan makannya selama hidupnya. Termasuk ketika ia masih menghuni kandang keledai di komplek istana Timur Lenk.
Yang kedua, ia "bersungguh- sungguh" di dalam belajar "membaca" -- sebagai suatu perbuatan kebaikan.  Cara "belajar"- nya adalah dengan membalik- balik satu persatu halaman buku  dengan menggunakan lidahnya. Ini suatu hal yang "asing" bagi seekor keledai, kecuali mungkin pada keledai sirkus.Â
Dan dengan bersungguh- sungguh dan patuh pada semua instruksi- instruksi tuannya, keahlian "membaca" buku itu pada akhirnya dapat dikuasainya setelah dua pekan belajar.
Yang ketiga, ia "menahan marah", ketika ia tidak menemukan biji- biji gandum di balik halaman- halaman buku, saat ia mendemonstrasikan keahlian "membaca" nya di hadapan Timur Lenk. Ia hanya balik menatap Hoja, sesaat setelah ia selesai membalik halaman terakhkir buku itu. Dan sesudah itu, ia diam. Seakan ia berkata kepada tuannya, Hoja yang "nyentrik" itu, bahwa ia telah selesai melaksanakan tugasnya. "Membaca" buku di depan Timur Lenk.
Kearifan keledai Hoja "membaca" buku itu, adalah kearifan yang seyogianya kita -- terutama saya sendiri--"tiru". Kearifan yang kita butuhkan ketika kita melakoni kehidupan sehari- hari bersama orang lain atau berinteraksi dengan orang lain.Â
Biar kita 'nggak gampang  berburuk  sangka pada orang lain.  Yang sangkaan kita belum tentu benar adanya. Biar kita 'nggak  bosan- bosannya berbuat kebaikan -- yang salah satunya adalah menuntut ilmu dan hikmah. Dan, biar kita  'nggak gampang marah, apalagi kalau itu cuma karena sesuatu hal yang sepele. Hahaha .....  Tiga hal atau situasi yang sangat mungkin kita hadapi setiap hari.
****
Kata pak ustaz pada suatu kesempatan pengajian di musallah, "Menjaga baik sangka (husnud dzan), bersungguh- sungguh (istiqomah) di dalam kebaikan, dan menahan amarah (yamliku gadhaba) itu, adalah tiga sifat, diantara sifat- sifat terpuji yang diajarkan oleh kaum sufi".
Bukit Baruga- Makassar, 09 Januari 2018.
kompasiana@ruslanyunus; text: all rights reserved.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H