Mohon tunggu...
Ulistya Oktaviana
Ulistya Oktaviana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ulis

Buat tugas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pernikahan Anak yang Semakin Menjadi Budaya

21 Juni 2021   18:27 Diperbarui: 21 Juni 2021   18:53 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENDAHULUAN

Di dunia ini pernikahan merupakan sebuah hal yang penting dalam kehidupan manusia. Dengan pernikahan akan menjaga keberlangsungan kehidupan dimana dapat menjamin garis keturunan. Siapapun boleh melakukan pernikahan jika sudah memenuhi persyaratan yang telah diatur oleh pemerintah Indonesia dalam undang-undang. Pernikahan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang profesi, suku, dan sebagainya. Namun fakta dilapangan adalah adanya fenomena pernikahan anak atau pernikahan dibawah umur. Fenomena pernikahan anak adalah dimana pasangan yang dinikahkan masih berusia belia atau dibawah umur.

Sesuai dengan aturan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Pasal 7 ayat 1 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mana mengatur sebuah pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita sudah mencapai usia 16 tahun (enam belas) tahun. Pernikahan anak yang selama ini terjadi merupakan sebuah tindakan yang tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan di Indonesia. Adapun berbagai macam alasan yang melatar belakangi fenomena pernikahan anak salah satu contohnya adalah persepsi masyarakat yang mengatakan bahwa biaya pendidikan itu mahal jadi kebanyakan orang tua tidak mau menyekolahkan anaknya karena alasan ekonomi dan biaya yang mahal. Orang tua justru menyarankan anaknya untuk putus sekolah dan segera menikah diusia yang terbilang cukup belia dan pada akhirnya disuruh untuk bekerja. Padahal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak sudah mengatur bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya pernikahan pada anak-anak (Pasal 26 ayat 1). Hanya saja memang undang-undang tidak mencantumkan sanksi yang tegas apabila terjadi pelanggaran.

            Secara global pernikahan anak ini terus terjadi, menurut UNICEF pada tahun 2018 memperkirakan sekitar 21% perempuan diusia yang masih muda melangsungkan pernikahan pada usia anak-anak. Sedangkan proporsi perempuan usia 20-24 tahun yang berstatus menikah sebelum umur 15 tahun, di Indonesia mengalami angka peningkatan. Menurut data BPS, pada tahun 2018 terdapat sekitar 0,56% anak umur 15 tahun yang sudah melakukan pernikahan dan pafda 2019 terdapat sebikar 0,57%. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa anak-anak pada usia remaja lebih memilih untuk melakukan sebuah pernikahan dini yaitu calon pasangan suami/istrinya berumur dibawah 19 tahun. Pada dasarnya tidak diperbolehkan oleh Undang-undang.

            Sejak terjadi pandemi covid-19 juga turut mendorong meningkatnya pernikahan dini di Indonesia. Tak kala para anak dibawah umur ini memutuskan untuk menikah lantaran sudah bosan denngan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk belajar dengan sistem daring. Fenomena tersebut juga tidak terlepas dari persepktif keluarga atau para orang tua dengan status ekonomi rendah dan tidak mampu membiayai pendidikan dan cenderung melihat anaknya sebagai beban ekonomi keluarga dan solusi yang diberikan adalah menikah seini mungkin. Sehingga faktor yang turur mempengaruhi keputusan anak-anak ini ialah faktor pendidikan, perspektif masyarakat, sosial budaya, dan ekonomi. Dengan penjelasan diatas, yang kemudian melatarbelakangi penulis untuk menuliskan dan memberikan opini mengenai pernikahan anak yang kini menjadi budaya.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil laporan dari BPS yang bekerja sama dengan UNICEF pada tahun 2018, 1 dari 9 anak perempuan menikah di Indonesia. Perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun di tahun 2018 diperkirakan mencapai sekitar 1.220.900 dan angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia. Berangkat dari hasil laporan yang dirilis BPS ini bisa dilihat bahwa pada tahun 2018 masih banyak sekali fenomena pernikahan anak yang terjadi di Indonesia. Angka ini diperkirakan akan terus naik jika tidak ada solusi untuk menekan jumlahnya atau tindakan preventif yang efektif. Dan dalam laporan selanjutnya yang dirilis oleh BPS beberapa wilayah atau provinsi di Indonesia tercatat presentase pernikahan anak nya lebih dari 15 persen dari jumlah penduduk di provinsi itu, seperti seluruh provinsi di pulau sulawesi dan kalimantan memiliki prevalensi perkawinan anak lebih tinggi dari angka nasional. Pervalensi perkawinan anak di pulau sulawesi berkisar antara 14 – 19 persen. Prevalensi tertinggi di provinsi sulawesi barat sebesar 19,43 persen, sedangkan yang terendah sulawesi selatan sebesar 14,10 persen. Di sisi lain rentang prevalensi untuk pulau kalimantan lebih lebar, antara 11,54 persen pada provinsi kalimantan timur sampai 19,13 persen yaitu provinsi kalimantan tengah. Dua pulau di Indonesia ini memiliki presentase pernikahan anak yang cukup tinggi. Banyak faktor yang menyebabkan tingginya presentase pernikahan anak di dua pulau tersebut misalnya faktor pendidikan. Untuk faktor pendidikan bisa dibilang cukup berpengaruh karena pada faktanya infrastruktur untuk sektor pendidikan di dua pulau tersebut masih cukup jauh dibandingkan dengan pulau jawa yang sudah sangat siap dari segi infrastrukturnya. Kemudian untuk faktor budaya, mungkin beberapa masyarakat adat di daerah sana masih menganggap pernikahan anak itu sebagai budaya yang harus dijaga dan dilakukan terus menerus guna mencegah hilangnya atau punahnya budaya tersebut.

 Untuk faktor pendidikan yang menjadi backgroud dari pernikahan anak bisa ditinjau dari berapa lama rata rata perempuan mengenyam pendidikan. Menurut data dari BPS, rata rata lama sekolah perempuan usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan anak bervariasi. Hanya terdapat 3 (tiga) provinsi yang mempunyai rata rata lama sekolah diatas 9 tahun, yaitu DI Yogyakarta (10,02), Aceh (9,39), dan Sulawesi Utara (9,35). DI Yogyakarta menempati urutan pertama dengan rata-rata lama sekolah perempuan usia 20 -24 tahun yang melangsungkan perkawinan anak lebih dari 9 tahun, yaitu 10,02 atau setara dengan kelas 1 SMA. Di sisi lain, rata rata lama sekolah terendah untuk perempuan usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan anak berada di provinsi papua, yaitu sebesar 3,73 atau setara dengan kelas 3 SD/sederajat.

Pendidikan merupakan faktor penting yang sangat mempengaruhi persepsi seseorang, ketika pendidikan seseorang semakin tinggi maka orang tersebut akan mudah menerima masukan dan memilih dengan pertimbangan yang lebih rasional, karena pendidikan akan menambah wawasan seseorang. Menurut Reskia (2014), orang tua bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya untuk menerima tanggung jawab yang penting ini, maka harus mempersiapkan diri sebelum dan sesudah menikah.  Namun faktanya mayoritas masyakarat indonesia menikah tanpa persiapan diri yang matang entah itu dari pendidikannya, pekerjaannya, dan lain lain. Sehingga yang terjadi adalah persepsi masyarakat indonesia masih kurang rasional bahkan dampaknya akan diturunkan kepada anak anaknya dalam contoh kasus ini ketika orang tua nya pendidikannya dulu tidak dipersiapkan dengan matang maka sang orang tua akan merekomendasikan anaknya untuk tidak bersekolah karena mereka beranggapan hanya menghabiskan uang dan lebih baik langsung bekerja saja karena itu akan menghasilkan uang. Namun dibalik biaya pendidikan yang mahal tersebut mereka tidak sadar akan pentingnya pendidikan bagi masa depan.

Tingkat pendidikan yang tinggi merupakan cerminan dari kematangan seseorang, kedewasaan pola pikir sehingga tindakan apapun yang akan dilakukan menurutnya itu sudah melalui pertimbangan pertimbangan tertentu yang rasional. Ketika pendidikan seseorang itu tinggi, maka dia tidak akan mau menikah diusia belia karena mereka sadar akan dampak dampak yang ditimbulkan nantinya ketika dia memilih menikah ketika usianya masih belia. Hal seperti ini lah yang seharusnya menjadi pola pikir dasar bagi masyarakat di Indonesia. Pola pikir rasional yang menjadi dasar untuk bertindak.

Faktor yang kedua yang mempengaruhi background fenomena pernikahan anak adalah faktor ekonomi atau faktor kemiskinan. Faktor ini menjadi sangat penting karena ketika keadaan finansial keluarga tidak berkecukupan maka anak dianggap sebagai beban keluarga, apalagi ketika mendapatkan anak perempuan. Anak perempuan dianggap sebagai beban keluarga karena tidak mampu bekerja dan pada akhirnya akan bergantung pada sosok laki laki entah itu ayah ataupun suaminya kelak. Hal ini menjadi poin penting dalam pernikahan anak, ketika keluarga yang kurang mampu ini memiliki anak perempuan maka diharapkan agar anaknya cepat menikah supaya menjadi tanggungan suaminya. Oleh karena itu ketika ada sosok pria yang ingin meminang anakn perempuannya, sang orang tua akan langsung menyetujuinya bahkan jika perbedaan usia mereka terpaut jauh. Bahkan ada orang tua yang menyuruh anaknya untuk berhenti sekolah agar ada laki laki yang mau meminangnya, karena persepsi masyarakat indonesia saat ini latar belakang pendidikan calon suami harus lebih tinggi dari calon istri. Jika pendidikan calon istri lebih tinggi dari calon suami maka laki laki ini merasa harga dirinya terinjak injak dan merasa minder bahkan nanti ditakutkan jika sang istri yang akan mengatur kehidupannya jika latar belakang pendidikannya lebih tinggi dari sang suami. Masyarakat memiliki anggapan jika melakukan pernikahan anak maka akan membantu meringankan beban mereka, karena ketika sudah menikah sang suami mampu membantu bekerja dan mencukupi kebutuhan hidupnya sehari hari.

Kemudian faktor ketiga yaitu faktor sosial budaya. Budaya adalah suatu kebiasaan dalam suatu masyarakat. Budaya disuatu daerah dapat mempengaruhi bagaimana cara masyarakat bertindak dan menafsirkan realitas sosialnya. Begitu juga dengan pernikahan anak, beberapa masyarakat Indonesia menganggap pernikahan anak adalah sebuah budaya yang lumrah dilakukan dan dilaksanakan, tentunya bukan suatu aib. Selain adanya dorongan dari beberapa faktor yang sudah dijelaskan diatas, faktor budaya ini bisa mempengaruhi seorang anak untuk memutuskan menikah dini karena melihat teman teman sebayanya banyak yang sudah menikah. Hal ini membuktikan jika budaya disuatu daerah mampu mempengaruhi pola pikir dan penafsiraan seseorang dalam melihat realitas sosial yang ada.

            Dalam faktor budaya ini ada beberapa persepsi masyarakat ketika melaksanakan pernikahan anak yaitu mencegah anaknya supaya terhindar dari pergaulan bebas. Pergaulan bebas sangat erat kaitannya dengan seks bebas dan hamil diluar nikah. Pergaulan bebas seringkali terjadi dikalangan remaja yang umumnya masih berstatus pelajar namun kurangnya perhatian dan pengawasan dari orang tua hal itu bisa terjadi. Pergeseran budaya dari yang dulunya orang tua ada pembagian tugas kerja dan tugas mengurusi anak, sekarang menjadi semua sibuk bekerja karena tuntutan keadaan yang mengharuskan kedua orang tua sibuk mencari uang demi menghidupi kebutuhan sehari harinya. Sehingga banyak anak yang kurang mendapatkan perhatian dan pengawasan sehingga mereka terjerumus ke pergaulan bebas dan pada akhirnya mereka hamil diluar nikah, dan hal ini menjadikan orangtua harus menikahkan mereka meskipun dibawah umur.

Terjadinya pernilkahan anak, tanpa disadari justru akan menimbulkan masalah baru dalam masyarakat. Pernikahan dini dapat membuat kehidupan anak menjadi berantakan dan dapat berdampak pada kehilangan masa depan. Dampak buruk lain yang dapat ditimbulkan dari pernikahan dini, yaitu:

  • Dapat memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
  • Dapat memicu sebuah perceraian
  • Masalah kesehatan
  • Masalah piskologis

Itulah beberapa dampak buruk atau masalah yang akan timbul dari pernikahan dini yang marak terjadi dan menjadi tren atau budaya. Pada kenyataannya, pernikahan dini bukanlah salah satu jalan untuk menyelamatkan ekonomi. Tetapi malah membuat anak terkena salah satu dampak dari pernikahan dini. Sebaiknya, peran orangtua dapat mendominasi penekanan angka pernikahan anak usia dini

KESIMPULAN

            Kesimpulan dari tulisan diatas adalah, tingkat pernikahan anak di Indonesia masih cukup tinggi bahkan sampai masuk ke peringkat 10 dunia. Hal ini disebabkan karena adanya faktor faktor yang melatar belakangi terjadinya fenomena pernikahan anak antara lain rendahnya tingkat pendidikan yang diterima oleh mayoritas remaja indonesia, kemudian fakor kedua yaitu kondisi finansial keluarga yang kurang memadai sehingga menyebabkan timbulnya persepsi bahwa anak perempuan merupakan beban keluarga yang tidak mampu produktif dan hanya bergantung pada laki laki entah itu ayah atau suaminya kelak, yang ketiga yaitu faktor sosial budaya. Faktor ini menjadi akar masalah yang cukup banyak terjadi di beberapa wilayah Indonesia seperti madura, sulawei dan kalimantan. Mereka beranggapan bahwa menikah saat usia belia itu hal wajar dan memiliki banyak manfaat misalnya bisa terhindar dari budaya pergaulan bebas. Kemudian keadaan sosial saat ini yang memaksa kedua orang tua untuk bekerja sehingga melupakan urusan mengawasi dan mendidik anak, sehingga yang terjadi adalah anak mengalami kurangnya perhatian dan menjadi kurang pengawasan dan berlaku seenaknya sendiri yang berakibat pada perilaku seks bebas dan pada akhirnya mengalai hamil diluar nikah.

            Dengan faktor faktor yang sudah disebutkan diatas, diharapkan kita masyarakat Indonesia mampu bekerja sama dengan pemerintah guna mengatasi dan menekan angka pernikahan anak ini dengan mengembangkan sektor sektor ekonomi dan pendidikan. Dua sektor tersebut menjadi kunci dasar yang harus segera ditemukan solusinya karena ketika dua faktor ini sudah tercukupi maka angka pernikahan anak di Indonesia mampu menurun secara drastis.

            Solusi yang dapat penulis berikan adalah memastikan layasan pendidikan yang menyeluruh dan memadai. Pendidikan membantu dalam menanam karakter masing-masing anak, kemudian memberikan kesempetan mereka untuk menemukan skill yang dibutuhkan mereka untuk mendapat pekerjaan yang layak. Hal ini dapat membantu anak-anak untuk dapat bermimpi yang lebih besar demi untuk masa depan mereka, sekaligus dapat membantu mengurangi potensi terjadinya pernikahan anak usia dini. Serta perlunya ada penguatan hukum dan kebijakan dalam perlindungan anak seperti usia minimumnya dan perlu adanya kordinasi mengenasi sanksi tegas yang akan diberikan. Dengan begitu, masyarakat umum akan sekan terhadap hukum walaupun terdapat dispensasi pernikahan. Jadi dapat menekan angka penikahan anak usia dini. Dan perlu adanya perubahan pola pikir dari masyarakat mengenai menikahkan anak diusia dini dapat mengurangi beban, padahal pernikahan dini dapat menimbulkan masalah lain salah satunya adalah perceraian. Jadi perlu adanya sosialisasi agar masyarakat secara bertahap dapat perubah mindset sekaligus ini menjadi cara lain untuk menekan angka pernikahan anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun