“Ok”, gue langsung buru-buru lari ke kamar gue sendiri.
Mungkin nilai ketakutan Kak Vivi cuman 75, sementara gue 95. Kak Vivi lebih santai daripada gue.Setiap kali dia merasa takut, dia berusaha untuk ga lihat ke arah si Mba/Mas Setan yang sedang mangkal. Nah, sementara gue beda sendiri. Setiap kali ketakutan gue bakalan ngeliatin lokasi-lokasi yang cukup mencurigakan. Bahkan pernah gue ada di dalam kamar dengan keadaan pintu kamar terbuka, gue ngerasa ada yang ngintip terus berlari dan gue pun teriak. “Woy,kemana lu!” Gue berusaha mengejar bayangan yang baru saja mengintip, dengan sekujur badan merinding padahal jelas-jelas itu bukan manusia. Penakut macam apa gue ini? Penakut yang kredibilitasnya sungguh sangat meragukan. Kalau penakut ya penakut aja, ga usah kepo. Hoh!
Singkat cerita gue udah pergi main sama temen gue dan udah pulang juga (Ya, disingkatin ajalah,ya. Masak mau dipanjang-panjangin? Bisa-bisa ga kelar-kelar cerita ga horror ini).
Deg! Gue melangkahkan kaki di depan gerbang setelah temen gue dengan jahatnya cekikikan meninggalkan gue dengan sepeda motornya. Gue lirik jam udah jam 1 pagi. Gilak! Main malem amat, Likkk... Gue rogoh kunci gerbang yang ada di tas, gue pun membuka gembok gerbang. Ceklek ceklek!
Gue pun masuk ke halaman rumah. Jedderrr! Inilah Pasar Minggu kalau malam. Tangis gue dalam jiwa. Gue berjalan dengan santai (Gaya doang, sih) . Rumah kos ini gede,dari gerbang ke kamar gue itu sekitar 100 meter, lain lagi kamar gue di atas berarti gue harus naik tangga yang konon katanya ada bayi merangkak. Haiks...
Cekrekcekrekcekrek! (ini bukan lagi ‘ganteng dikit cekrek’ loh,ya) Itu suara kunci yang gue gunakan untuk memecahkan keheningan malam. Gue berjalan di halaman yang penuh pepohonan, dan kabar gembiranya setiap jam 9 malam lampu udah pada dimatiin sama Mas-mas penjaga rumah. Semakin gue jalan, semakin gue merasa ada yang ngikutin gue dan merhatiin gue dalem-dalem. Mereka bebas sekarang, bebas nakut-nakutin gue. JAM SATU PAGI!
Gue ga mau bilang, “Permisi” . Karena kalau mereka ternyata bisa jawab, “Iya, Neng”, “Iya, Manis”, “Lewat aja keleus”. Gue bisa pingsan beneran. Itu makanya gue ga mau permisi. Gue cukup memanggil nama Tuhan di dalam hati (ceilahhh). Ketakutan gue makin lama makin serius.
Gluduk! Gue liat ada yang lempar gue pakek buah-buahan pohon(gue lupa nama pohonnya) dan buah itu menggelinding di bawah kaki gue. Diiringi dengan suara daun-daun di tanah yang bergeser-geser kayak ditiup angin, padahal gue ga ngerasa ada angin pada saat itu (aneh banget, khan?). Gue yakin juga bukanbuah jatuh dari atas, tapi itu buah dilempar. Karena itu buah bukan jatuh lurus, tapi lemparannya mengarah ke samping. Gue langsung keringat dingin, matague tertuju pada buah kecil tepat di kaki gue dan gue langsung melirik ke arah buah itu terlempar seperti gue yakin walau gue ga liat, tapi pasti yang lempar gue masih berdiri di situ. Iya, si setan kampret itu.
“ANJIIIRRR!!!!! SETAN LOOO!!!”, teriak gue emosi dengan mata melotot. Bersamaan dengan amarah gue yang memuncak daun-daun yang menggesek-gesek tanah itu berhenti (Serius! ). Gue berjalan cepat ke arah tangga sambil sesekali melihat ke arah buah jatuh itu dan gue pun meludah. “Dasar setan lo!”, kata gue belum puas.
Gue takut campur marah. Iya, gue marahin setan. Sejak saat itu,gue memiliki prinsip kalo ditakutin ya marahin aja, atau minimal kata-katain biar minder. “SETAN LO! “
Ragunan, 11 Januari 2017