Mohon tunggu...
Ulil Lala
Ulil Lala Mohon Tunggu... Administrasi - Deus Providebit - dreaming, working, praying

Bukan penulis

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengundurkan Diri Atas Permintaan Bos atau Keinginan Pribadi?

14 Maret 2021   01:48 Diperbarui: 15 Maret 2021   00:08 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi resign (Sumber: pixabay.com)

*Artikel yang telat tayang, meski saya tak dikerjar target :D

"Pertimbangkan dulu, jangan tergesa mengambil keputusan untuk keluar kerja." Suara wanita itu terdengar lembut dan keibuan. 

"Begini saja, saya tambah gaji kamu dan kamu tetap kerja di sini."

Tawaran yang menggiurkan, bukan? Ingin keluar dari tempat kerja malah dapat tawaran kenaikan gaji, padahal alasan keluar bukan karena gaji kurang. 

Hal ini tidak sering terjadi, sayapun hanya mengalaminya sekali dari beberapa pengalaman berhenti kerja. 

Tentunya ini perusahaan milik pribadi, bukan sebuah PT besar yang kompleks yang sudah ada aturan baku dan perlu banyak pertimbangan serta persetujuan untuk menaikan gaji seorang karyawan dengan alasan hanya untuk mempertahankan seorang karyawan supaya tidak mengundurkan diri dari tempat kerja.

Saya sangat menyadari kemampuan saya dalam bekerja bahwa loyalitas saya tidak perlu diragukan, kemauan saya untuk belajar cukup besar dan tentu saja, saya termasuk orang yang "tahan banting", karena menyadari susahnya mencari pekerjaan. 

Selain itu kepercayaan adalah suatu hal yang luar biasa yang perlu dijaga. Namun tentu saja ada hal yang sangat penting yang tak bisa dikesampingkan begitu saja dalam pengabdian diri terhadap pekerjaan. 

Kehidupan pribadi. Inilah yang menjadi alasan utama saya keluar kerja seperti yang pernah saya bahas dalam artikel saya Worklife Balance : Ketika Saya Tak Pernah Melihat Matahari.

Bekerja memang untuk mencari uang sebagai alat pemenuhan kebutuhan hidup, namun sekali lagi dunia membuktikan, bahwa uang itu bukan segalanya. 

Saat itu saya masih muda, tenaga masih sangat kuat, tekanan dan beban kerja yang lebih dari 17 jam tiap harinya 6 hari kerja masih dengan santai saya lakukan. 

Saya masih bisa bercanda, tertawa dan bersenang-senang dengan teman-teman saya. Hanya satu hal yang akan hilang dan tak terganti. WAKTU.

Selain alasan tersebut, banyak hal yang mendasari seorang karyawan memutuskan untuk berhenti bekerja, misalnya :

Saya dan rekan kerja (Pekerjaan ke 5) - Dok. Pri
Saya dan rekan kerja (Pekerjaan ke 5) - Dok. Pri

1.  Tawaran yang lebih baik dan pasti dari perusahaan lain. Ironi yang benar-benar saya rasakan ketika lulusan SMA bisa mendapat gaji minimal sama dengan UMK dibandingkan dengan pendidikan yang lebih tinggi namun gaji dibawah standard UMK. Ironi atau saya yang tidak beruntung?

2.  Tidak ada jaminan keselamatan kerja, kesehatan dan hari tua dari perusahaan. Kalau sakit atau kecelakaan, perusahaan memang akan membayar biaya yang dibutuhkan, tetapi selanjutnya karyawan akan kena potongan gaji untuk mengembalikan semua atau sebagian biaya tersebut.

3.  Tidak ada jenjang karier yang jelas untuk kenaikan gaji dan jabatan. Biasanya ini dialami oleh karyawan yang bekerja di perusahaan-perusahaan milik perseorangan seperti CV. Perusahaan skala menengah yang dikelola oleh pemiliknya sendiri beserta keluarga. Jadi pegawai administrasi, meski prestasi kerja terus meningkat, jabatan ya satu itu saja.

4.  Beban kerja yang tidak imbang dengan motivasi kerja. Motivasi atau stimulus, mutlak harus ada dan imbang dengan beban kerja yang diberikan kepada pegawai. Kalau tidak kemungkinannya hanya dua, karyawan keluar atau bertahan dengan kinerja yang tidak maksimal.

5.  Permintaan pasangan atau keluarga untuk berhenti. Biasanya dialami wanita yang sudah menikah, karena permintaan suami untuk berhenti dan menjadi ibu rumah tangga saja. Bisa juga permintaan orang tua, karena tempat kerja yang terlampau jauh dari rumah.

6.  Pekerjaan yang tak sesuai dengan bidang pendidikan atau tak sesuai dengan iklan lowongan kerja yang dijanjikan. 

Diiklan dibutuhkan sekretaris, lha kok tetibanya di tempat di suruh jadi sales keliling jual produk abal-abal dengan alasan untuk masa training. Saya masih lugu sekali waktu itu.

7.  Kondisi perusahaan yang tidak sehat. Budaya ABS (Asal Bos Senang), persaingan antar karyawan yang sangat tinggi atau perusahaan mengalami masa pailit dan hampir bangkrut. 

Satu pengalaman saya yang tak pernah saya lupa adalah ketika manager bagian produksi pinjam uang kepada saya yang jumlahnya lebih besar dari gaji yang saya terima untuk membeli bahan produksi perusahaan. Hah?! Sekali seumur hidup perusahaan tempat saya bekerja berhutang pada karyawannya.

8. Enggan keluar dari zona nyaman. Misalnya saja perusahaan mempunyai cabang di kota dan tempat lain dan kena mutasi. Pilihannya juga hanya dua menerima mutasi sesuai perjanjian diawal kerja bahwa bersedia dimutasi dimana saja atau keluar kerja. 

Seorang kawan yang cukup senior di perusahaan tempat saya bekerja menolak untuk dimutasi dan memilih keluar, karena enggan keluar dari segala kenyamanan yang sudah ia rasakan di tempat lama. 

Di tempat baru, ia harus beradaptasi dari nol lagi, seoalah menjadi pegawai baru, tidak punya kuasa untuk membuat keputusan bahkan menyampaikan usulan, tidak ada lagi orang yang "tunduk" kepadanya.

9. Tidak cocok. Ini alasan yang paling banyak dan sering muncul dengan berbagai embel-embel yang mengikuti dibelakangnya. Tidak cocok gajinya, tidak cocok kerjaannya, tidak cocok kawannya, tidak cocok dengan atasannya, tidak cocok ini dan itu.

Mungkin masih ada beberapa alasan lain yang luput dari pengalaman saya, namun keputusan mengapa seorang karyawan memilih keluar seperti yang saya tulis adalah berdasarkan pengalaman saya sendiri dan semua itu didasari dari permintaan dari karyawan sendiri.

Bilamanakah pimpinan atau perusahaan yang meminta karyawan untuk mengundurkan diri? Saya juga pernah mengalami hal ini. Maksud hati ingin tetap bekerja di perusahaan ini, apa daya pimpinan justru menawarkan kepada karyawan untuk mengundurkan diri dari perusahaan dengan alasan :

1.  Perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Masa pandemik ini di kota saya banyak sekali toko tutup, kabar PHK dimana-mana dan perusahaan menawarkan dua opsi : mengundurkan diri dengan pesangon penuh atau tetap kerja dengan gaji hanya 50% saja? Tentu bukan pertimbangan yang mudah, namun ada juga yang lebih memilih mengundurkan diri.

2.  Ketahuan melanggar peraturan kerja. Di lingkungan tempat saya bekerja, banyak pegawai yang di minta secara tegas untuk mengundurkan diri tanpa pesangon karena ketahuan ikut tes CPNS secara diam-diam. 

Pelanggaran ini terkait dengan loyalitas pegawai dan melanggar aturan perusahaan yang ditetapkan di ADART (Anggaran Dasar dan Aturan Rumah Tangga) Perusahaan. 

Beda ya dengan di pecat, karena kalau dipecat tentu dalam surat refrensi akan tertulis "Diberhentikan dengan tidak hormat." 

Namun jika perusahaan menawarkan opsi untuk mengundurkan diri, maka surat refrensi akan tertulis "Diberhentikan dengan hormat." Beda banget kan, meski untuk kasus yang serupa, karena pegawai yang lain bersedia jujur di depan sebelum tes CPNS, sementara yang lain tidak jujur.

Setelah berhenti kerja lalu mau apa? Mau kemana?

Sebelum mempertimbangkan keputusan untuk mengundurkan diri atas keinginan pribadi, sebaiknya pertimbangkan dulu masak-masak dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut :

1.  Setelah keluar mau melakukan apa? Cari kerja lagi atau wiraswasta? Ada modal?

2.  Pekerjaan yang bagaimana yang diinginkan dan mau gaji berapa? Pikirkan keadaan secara realistis kemampuan diri, pendidikan, ketrampilan dan kelayakan, jangan membuat ekspektasi yang terlalu tinggi dengan kenyataan diri, kecewa terus nantinya, keluar kerja terus jadinya.

3.  Jika sudah bekerja cukup lama, sanggupkah memulai semuanya dari nol lagi, dari awal lagi? Status honor, gaji tidak penuh, beradaptasi dengan orang-orang baru, pekerjaan yang mungkin sedikit berbeda atau benar-benar beda.

4.  Jika masih sendiri, silakan tanya pada diri sendiri, "Kapan saya bisa membahagiakan orang tua dengan gaji saya?" atau "Sampai berapa lama saya harus minta dihidupi orang tua?" 

Saya bukan orang kaya, jadi lepas sekolah saya berusaha berdiri di kaki saya sendiri, menyemangati diri untuk membahagiakan orang tua dengan memberi sedikit rejeki dari hasil jerih payah sendiri adalah hal luar biasa membahagiakan. 

Sebaliknya, jika anda sudah berkeluarga tak perlu lagi saya ungkapkan, bagaimana menanggung keluarga Anda, jika Anda sendiri tak bekerja. Lain cerita kalau Anda terlahir di keluarga yang tajir mlintir.

5.  Masa depan yang bagaimana yang diinginkan? Jadi pengangguran yang tak jelas atau mencoba menjalani pekerjaan yang ada semberi meningkatkan kompetensi diri untuk mencari yang lebih baik nantinya. 

Masa depan itu seperti matahari yang pagi terasa hangat dan tampak indah, lalu siang mengingatkan untuk beristirahat dan berteduh, lalu tiba sore saatnya beristirahat, jika tak memanfaatkan waktu dengan baik, hanya akan ada penyesalan dan menyalahkan waktu, "Kok cepat banget ya sore, aku belum melakukan apa-apa!"

Tidak ada pekerjaan yang enak dalam arti benar-benar sesuai keingingan kita, maka selagi masih bekerja dan sedang mengalami tekanan berat hingga sampai titik jenuh, cobalah untuk meletakan semuanya sebentar, ambil cuti satu atau dua hari. 

Nikmati hari untuk diri sendiri dan jangan lupakan satu hal, banyak orang, banyak sarjana yang bersaing mencari kerja atau terpaksa banting setir melupakan ijazah hanya untuk sebuah pekerjaan yang berpenghasilan supaya bisa tetap bertahan hidup. 

Jadi sabar dan jalanilah, katakana saja, "Saya orang yang beruntung karena mempunyai pekerjaan."

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun